Mari kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan secara paripurna kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan tuntunan kepada kita untuk dapat menempuh jalan kebaikan, bertakwa, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Di tengah kehidupan yang serba terbuka saat ini, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita sering disuguhi informasi dan tontonan tentang perilaku sebagian insan manusia yang seolah tidak pernah merasa cukup dengan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada dirinya. Meski dimudahkan memperoleh banyak harta, dilapangkan jalan pekerjaan, mulia memiliki keluarga, serta diberi kesehatan dan panjang usia, namun sebagian jiwa abai, lupa diri, tidak menata hati, tidak mensyukuri, dan tidak mencukupkan diri, sehingga alih-alih bahagia, yang dialami hanyalah nestapa. Alih-alih bersyukur, yang ada malah kufur. Dalam Qur’an surat Ibrahim (QS.14:7) Allah subhanahu wata’ala sudah mengingatkan :
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat- Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Azab tidak selalu dimaknai sebagai hukuman di akhirat, melainkan bisa juga berupa konsekuensi buruk yang diterima dalam kehidupan ini. Bagi hamba yang bersyukur, Allah akan memuliakan, bagi mereka yang kufur, dalam sekejap Allah dapat menjatuhkannya ke dalam lubang kehinaan. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya, Kehendak-Nya adalah sebuah keniscayaan. Dalam surat Ali Imran (QS.3: 26), Allah menegaskan :
Artinya : “Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Memiliki nafsu, itu adalah sunnatullah, lumrah, sesuatu yang dikendaki Allah, dan memang itu cara Allah memuliakan manusia. Dengan anugerah nafsu dan akal yang dimilikinya, manusia menjadi makhluk yang lebih mulia dari hewan atau bahkan malaikat. Kata “nafsu” berasal dari Bahasa Arab, “al-nafs”, yang secara harfiyah bisa bermakna “diri”, atau bisa juga berarti “jiwa”. Al-Quran sendiri menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) jenis “al-nafs” dalam setiap diri manusia: pertama, al- nafs al-ammarah, yakni bagian diri kita yang cenderung mengajak pada keburukan, syahwat, dan hawa nafsu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat, “Jangan mengikuti nafsu amarah”. Allah berfirman dalam Qur’an surat Yusuf (QS.12: 53):
Artinya: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
Kedua, al-nafs al-lawwamah, yakni bagian dari jiwa kita yang sering berfungsi sebagai rem, mencela tindakan- tindakan buruk yang dilakukan, menyesali perbuatan maksiat, dan mengingatkan untuk kembali kepada kebaikan. Ini yang disebut sebagai “al-dhamir”, atau kita mengenalnya dengan istilah hati nurani. Dalam surat al-Qiyamah (QS.75 ayat 2) Allah bersumpah : Artinya: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
Ketiga, al-nafs al-muthmainnah, yakni bagian dari jiwa kita yang selalu merasa nyaman dalam kebaikan, ridla atas segala Kehendak Allah, pandai menata hati dan menahan diri, sehingga selalu merasa cukup dengan dengan rejeki yang diterimanya. Jiwa ini yang diseru oleh Allah dalam surat al- Fajr (QS.89 ayat 27-30): Artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya, masuklah menjadi bagian dari hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”
Tugas kita sebagai manusia adalah memilih dan mengendalikan nafsu yang memang menjadi bagian dari diri kita itu. Kita perlu terus menata hati, dan mencukupkan diri. Godaan pasti ada, keinginan pasti tak berbilang, apalagi jika saat ini kita sedang memegang amanah jabatan, harta melimpah, dan fasilitas mencukupi. Ironisnya, dalam sebagian sketsa kehidupan yang kita saksikan, watak rakus dan merasa tidak cukup justru banyak dimiliki oleh mereka yang kebutuhan duniawinya sudah dicukupkan oleh Allah subhanahu wata’ala, rejekinya tidak berkekurangan, jabatannya tinggi, keinginannya pun hampir selalu terpenuhi. Sementara, mereka yang hidupnya pas-pasan, prihatin, didera kekurangan, papa, rejekinya “seret”, tidak jarang malah lebih dapat mensyukuri sekecil apapun nikmat yang diterima, sehingga mereka lebih dapat menemukan kebahagiaan.
Kesejahteraan dan kecukupan duniawi memang sebuah kebutuhan. Islam sama sekali tidak melarang umatnya untuk menjadi orang kaya. Allah bahkan menempatkan orang yang dermawan di tempat mulia. Dermawan artinya memiliki banyak harta. Kewajiban kita adalah untuk tidak berlebih- lebihan dan tidak lepas kendali dalam mencari rejeki, karena Allah sendiri mengingatkan bahwa semua yang diberikan itu bisa jadi adalah sebuah ujian. Dalam surat al-Anfal (QS.8 ayat 28) Allah berfirman:
Artinya: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”
Dalam berbagai kesempatan, Nabi mengajarkan bahwa hakikat kebahagiaan bukan terletak pada kekayaan seseorang yang melimpah, melainkan jika ia mampu bersikap qonaah (merasa cukup). Qonaah adalah sebuah sikap atau perilaku menerima dengan rela segala keadaan, menerima apapun keputusan Allah tanpa mengeluh, sembari tetap berikhtiar dan berusaha sampai habis batas kemampuannya. Ajaran normatif ini tampak sederhana, namun faktanya tidak selalu mudah orang mempraktikannya.
Qonaah, merasa cukup, adalah kunci agar jiwa mendapat ketenangan dan kebahagiaan. Seseorang yang qonaah, akan selalu merasa tenteram, jauh dari watak tamak atau serakah. Kalau pun melihat orang lain memperoleh kebaikan, harta, atau pangkat duniawi melebihi dirinya, ia akan turut berbahagia, dan tidak pernah berangan-angan untuk merebut kebaikan itu, apalagi berupaya dengan menghalalkan segala cara. Dalam surat al-Nisa (QS.4 ayat 32) Allah berfirman : Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu, lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Akhirnya, mari kita renungkan sabda kanjeng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu: Artinya : “Kaya (hakiki) itu bukan karena banyak harta melainkan kaya hati”.
*) Rusli, S.Pd., Penulis dan Pengamat Sosial Keagamaan di Sulteng