Di jantung hutan yang telah dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, sebuah tragedi hukum mengemuka. Sorbatua Siallagan, ketua komunitas yang dihormati sebagai penjaga tanah adat, kini harus menghadapi vonis dua tahun penjara.
Vonis ini bukan hanya sebuah hukuman, tetapi juga sebuah peringatan keras bagi perjuangan masyarakat adat di Indonesia. Serta fakta yang harus diakui, bahwa dewasa ini di Indonesia yang nota banenya adalah negara kesatuan dari beragam dan berbagai kerajaan nusantara, kekuatan dan keabsolutan hukum adat telah takluk di hadapan hukum negara.
Penjaga Tanah yang Tertuduh
Sorbatua Siallagan, pria berusia 65 tahun, telah lama dikenal sebagai sosok yang gigih dalam mempertahankan tanah leluhur komunitasnya di Kampung Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun.
Sejak tahun 1983, ketika PT Toba Pulp Lestari (TPL) memperoleh izin konsesi untuk mengelola hutan di wilayah tersebut, konflik antara perusahaan dan masyarakat adat semakin memuncak.
Pada 22 Maret 2024, Sorbatua ditangkap oleh polisi atas tuduhan pengrusakan dan penguasaan lahan yang merupakan bagian dari konsesi PT TPL. Dalam pandangan perusahaan, tindakan Sorbatua dianggap sebagai pelanggaran hukum, sementara di mata komunitas adat, ia adalah simbol perjuangan melawan penindasan.
Selama bertahun-tahun, Sorbatua bersama komunitasnya mengelola hutan adat yang mereka yakini sebagai warisan leluhur. Masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, yang telah tinggal di wilayah tersebut sejak abad ke-18, mengelola tanah dan hutan mereka dengan prinsip hukum adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Namun, izin konsesi yang diberikan kepada PT TPL mengklaim sebagian besar dari tanah yang dikelola oleh masyarakat adat tanpa persetujuan mereka. Klaim tanah adat yang dimiliki Sorbatua tidak diakui dalam proses hukum.
Sorbatua Siallagan divonis dua tahun penjara, denda Rp 1 miliar, subsider enam bulan oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun. Sidang putusan terhadap Sorbatua Siallagan digelar di Pengadilan Negeri Simalungun pada Rabu, 14 Agustus 2024.
Dia dinyatakan bersalah telah menduduki kawasan hutan dan membakar hutan negara yang diklaim konsesinya PT Toba Pulp Lestari atau PT TPL. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, dalam keputusan yang mengejutkan, menilai bahwa klaim tanah ulayat Sorbatua tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Status tanah ulayat yang dimohonkan masih sebatas usulan,” ucap Ketua Majelis Hakim Dessy Ginting, menandakan bahwa hak masyarakat adat belum diakui secara resmi oleh pemerintah.
Vonis terhadap Sorbatua telah memicu kemarahan dan protes dari keluarga dan komunitasnya. Veronika Siallagan, cucu Sorbatua, menyatakan rasa kecewa yang mendalam.
“Mengelola tanah leluhur kami dianggap bersalah. Ini adalah bentuk kecerobohan pemerintah yang tidak mengakui hak-hak masyarakat adat,” tegasnya.
Jernih Siallagan, anak Sorbatua, juga mengungkapkan kekecewaannya. Dirinya menegaskan apa yang kini dialami Sorbatua adalah hasil dari kelalaian pemerintah dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
“Tanpa kepastian hukum, masyarakat adat seperti kami akan terus terjepit,” katanya dengan penuh emosi.
Masyarakat Adat Berhak atas Tanah
Hengky Manalu dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak mengkritik keputusan hakim sebagai tidak adil. Vonis ini dinilai sangat berpotensi menjerat masyarakat adat lain yang berjuang untuk tanah ulayat mereka.
“Hakim seharusnya mempertimbangkan fakta bahwa masyarakat adat telah mengelola tanah tersebut jauh sebelum negara dan perusahaan hadir,” ujar Hengky.
Upaya hukum banding akan segera diajukan untuk melawan putusan yang dianggap tidak adil. Hengky menegaskan bahwa jika putusan banding tetap merugikan masyarakat adat, mereka akan melanjutkan dengan kasasi.
“Masyarakat adat berhak atas tanah yang telah mereka kelola dari generasi ke generasi,” tambahnya.
Meskipun Sorbatua kini terjerat dalam kasus hukum yang berat, keluarga dan komunitasnya tetap bertekad untuk mempertahankan tanah adat mereka. Veronika Siallagan dengan penuh semangat menyatakan, dirinya tidak akan berhenti berjuang. Tanah itu adalah warisan nenek moyang mereka.
“Kami akan terus melindunginya dari ancaman perusahaan yang semakin dekat ke kampung kami,” katanya.
Kasus Sorbatua Siallagan, ketua komunitas adat Ompu Umbak Siallagan yang baru saja divonis dua tahun penjara, bukanlah kasus terisolasi. Konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di sekitar kawasan Danau Toba telah menyebabkan lebih banyak tragedi serupa.
Tragedi Berulang, Kriminalisasi Masyarakat Adat
Menurut data yang dilansir Kompas pada 2022, konflik tanah di sekitar Danau Toba telah menyebabkan 93 masyarakat adat diproses hukum dan 39 orang di antaranya dipenjara dalam dua dekade terakhir. Angka-angka ini mencerminkan gambaran suram mengenai bagaimana hukum sering kali menjadi alat untuk menekan perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.
Salah satu contoh mencolok adalah kasus seorang warga dari komunitas adat Tukkonisolu di Desa Porsoburan Barat, Kecamatan Habissaran, Kabupaten Toba. Pada 2022, dia divonis tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar oleh Pengadilan Negeri Balige.
Tuduhan terhadapnya adalah perusakan hutan karena menanam jagung dan kopi di tanah yang dianggap wilayah adat, namun tumpang tindih dengan area konsesi PT TPL. Meskipun dia mengajukan banding dan dinyatakan tidak bersalah, kasus ini menggambarkan tekanan hukum yang dihadapi masyarakat adat.
Kasus lain menimpa Jonny Ambarita dari masyarakat adat Sihaporas, yang divonis sembilan bulan penjara karena menganiaya pekerja PT TPL. Jonny dan komunitasnya dituduh menganiaya pekerja perusahaan dalam usaha mereka mempertahankan tanah adat. Ironisnya, dugaan penganiayaan oleh pekerja PT TPL terhadap seorang balita bernama Mario Ambarita belum pernah diselesaikan hingga saat ini.
Janji Presiden Joko Widodo Yang Terlupakan
Ketidakadilan yang dihadapi masyarakat adat memicu mereka untuk melaporkan masalah ini kepada Presiden Joko Widodo pada Agustus 2021. Dalam pertemuan di Jakarta, Presiden dikabarkan menjanjikan pengembalian tanah adat kepada masyarakat adat. Namun, janji tersebut belum terlihat nyata di lapangan.
Laporan yang diserahkan oleh masyarakat adat dan LSM menyoroti dampak serius dari operasional PT TPL. Aliansi Gerak Tutup TPL mencatat bahwa sekitar 34.817 hektare konsesi PT TPL berada di daerah tangkapan air Danau Toba, yang sebelumnya merupakan hutan.
Pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan eukaliptus mengancam sumber air masyarakat untuk minum dan irigasi pertanian. Lebih dari 2.000 hektare lahan pertanian telah terdampak akibat terganggunya pasokan air dari hulu.
Penjaga Tanah yang Tak Pernah Menyerah
Kisah Sorbatua Siallagan adalah salah satu dari banyak cerita perjuangan yang menggarisbawahi konflik antara hak adat dan kekuatan korporasi serta hukum negara. Meski kini terjerat dalam kasus hukum, Sorbatua dan komunitasnya tetap berjuang untuk melindungi tanah adat mereka yang merupakan warisan leluhur.
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka di tengah arus modernisasi dan tekanan dari kepentingan industri.
Konflik ini adalah cerminan dari masalah yang lebih luas dan menyoroti perlunya perubahan mendasar dalam pengakuan hak adat dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Dengan harapan bahwa perjuangan ini akan menghasilkan keadilan dan pengakuan yang lebih baik bagi masyarakat adat, tantangan ini terus berlanjut dalam konteks global yang semakin kompleks.
Sementara seyogyanya hukum adat yang dikenal juga dengan prinsip “Volksgeist” dan dipopulerkan oleh Friedrich Carl von Savigny, menyatakan bahwa hukum adalah ekspresi dari semangat atau jiwa bangsa (Volksgeist), dan karena itu, hukum adat/kebiasaan masyarakat dianggap sebagai hukum yang paling mencerminkan keadilan dan nilai-nilai masyarakat.
Sehingga sepatutnya hukum adatlah yang lebih kuat dan tinggi kuasanya dibanding hukum yang dibuat oleh negara, khususnya di Indonesia ini. (*)
Sumber: https://www.supernews.co.id/berita/2499-sorbatua-siallagan-sang-penjaga-tanah-adat-yang-berujung-di-penjara-.html