Perhimpunan Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan) sepakat berdamai dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Perkomhan melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Mahfud MD lantaran dinilai telah mengintervensi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat perihal putusan penundaan pemilihan umum (pemilu). Ketua Umum Perkomhan Priyanto mengungkapkan, kesepakatan damai antara kedua belah pihak terjadi dalam proses mediasi.
“Menko Polhukam mengajukan proposal perdamaian. Kami sepakat terhadap isi perdamaian tersebut,” ujar Priyanto
Kendati demikian, Priyanto tidak mengungkapkan rinci proposal perdamaian apa yang disampaikan oleh Menko Polhukam selaku pihak tergugat. Adapun dalam gugatan nomor perkara 205/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst yang didaftarkan pada 29 Maret 2023 ini, Mahfud diminta untuk membayar kerugian materiil dan immateriil sebesar Rp 1.025.000.000. Priyanto mengatakan, majelis hakim bakal membacakan akta van dading atau akta perdamaian dalam sidang berikutnya yang dijadwalkan digelar pekan depan.
“Setelah putusan perdamaian, kami akan mengadakan konfrensi pers. Nanti akan saya infokan tanggal putusan dading sekaligus konfrensi pers,” ujar dia.
Sebelumnya, Mahfud MD selaku Menko Polhukam dinilai telah mengeluarkan pernyataan yang rawan mengintervensi perkara yang belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Adapun putusan yang dikomentari oleh Mahfud MD yakni perkara perdata antara Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait tahapan pemilu.
“Kalau ada suatu proses perkara yang masih berjalan, belum inkrah, kalau bukan eksekutif yang mengomentari tidak jadi masalah, tapi bermasalah jika yang mengomentari itu Menko Polhukam,” kata Priyanto.
Priyanto menyampaikan, Indonesia menganut asas trias politika yang membagi kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan asas ini, setiap bagian kekuasaan tidak boleh mencampuri atau mengintervensi kekuasan lain. Hal ini juga dikuatkan dengan Undang-Undang tentang kekuasaan Kehakiman.
“Jadi, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, eksekutif tidak bisa mencampuri atau intervensi terhadap lembaga yudikatif, itu prinsip UUD 1945” papar Priyanto.
Ia menyebut, Mahfud MD telah mengeluarkan pernyataan berupa tudingan soal adanya permainan atas putusan penundaan pemilu yang diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia pun berpandangan, tuduhan itu seharusnya dibuktikan oleh Mahfud MD bukan dengan pernyataan yang disampaikan selaku pejabat Menko Polhukam.
“Itu masih berjalan, belum inkrah mengomentari suatu putusan, yang nadanya ikut campur, apakah itu perbuatan melawan hukum atau tidak? persoalannya di situ,” kata Priyanto.
“Yang paling prinsip, waktu Prof Mahfud menyatakan bahwa di balik putusan Partai Prima ada permainan di belakang oleh PN Jakarta Pusat,” ujar dia.
Menurut Priyanto, pernyataan Mahfud selaku Menko Polhukam saat itu tidak mencerdaskan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum. Oleh sebab itu, Perkomhan menggugat Mahfud yang tengah menjabat di lingkup kekuasaan eksekutif sebesar Rp 1.025.000.000.
“Bagi saya itu merusak budaya hukum, tidak memberikan kecerdasan hukum kepada masyarakat, orang nanti akan apriori terhadap semua putusan pengadilan kan, akan negatif,” ujar Priyanto.
Digugat balik
Menanggapi gugatan tersebut, Mahfud MD pun menyatakan akan menggugat balik Perkomhan lantaran telah menggugatnya atas komentar yang disampaikan terkait putusan PN Jakarta Pusat. Dalam kesempatan itu, Mahfud mengatakan bahwa ia selama ini tidak pernah mendengar kiprah Perkomhan. Namun, tiba-tiba Perkomhan menggugat dirinya sebagai Menko Polhukam ke PN Jakarta Pusat.
“Karena mengusik saya, maka saya akan gugat balik Perkomhan dalam gugatan rekonvensi sebesar Rp 5 miliar dengan putusan provisi sita jaminan,” kata Mahfud.
“Katanya saya telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mengomentari putusan PN Jakpus yang memenangkan gugatan Partai Prima untuk menunda tahapan pemilu,” kata Mahfud lagi.
Ia mengatakan, puluhan orang setiap hari mengomentari putusan pengadilan, tetapi tak pernah ada yang dianggap perbuatan melanggar hukum. Ia juga menyampaikan, hampir semua pimpinan partai politik utama yang sudah lolos verifikasi mengomentari putusan PN Jakpus itu.
“Loh, masak mengomentari putusan pengadilan dianggap pembuatan melawan hukum? Hak perdata apa yang dimiliki oleh Perkomhan atas komentar vonis PN itu?” ujar Mahfud.
“Banyak juga politisi, akademisi, pengamat, dan media mainstream yang mengomentari bahwa putusan itu salah. Mengapa mereka tidak digugat juga sekalian kalau itu dianggap melanggar hak perdata Perkomhan?” kata Mahfud. Putusan PN Jakarta Pusat ini telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Perkara Prima terhadap KPU kini tengah dalam proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Buktinya juga pada tingkat banding putusan PN itu dibatalkan seluruhnya oleh Pengadilan Tinggi yang berarti komentar publik itu benar secara hukum,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2023/07/06/06191901/soal-digugat-rp-1-miliar-mahfud-md-dan-penggugatnya-sepakat-damai