banner hokitimur

RUU Penyiaran 2024: Mengancam Keberagaman, Kebebasan Pers, dan Hak Kelompok Rentan

banner 120x600

Jakarta – Indonesia telah memiliki Undang-Undang Penyiaran yang disahkan di tahun 2002. Dalam perjalanannya, undang-undang ini memang harus direvisi, mengingat pesatnya perkembangan teknologi penyiaran. Namun, revisi yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, ternyata bermasalah dalam proses penyusunannya, juga mengancam keberagaman, kebebasan pers dan hak kelompok rentan. Publik hanya punya waktu beberapa bulan saja, karena revisi UU Penyiaran ini ditargetkan sah menjadi UU pada September 2024.

Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi yang terdiri dari sejumlah organisasi/ lembaga masyarakat sipil mencatat, terdapat 4 poin masalah dalam revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di Baleg DPR RI.

 

Perluasan Kewenangan KPI ke Ranah Digital

Revisi UU Penyiaran meluaskan cakupan wilayah penyiaran, tak hanya penyiaran konvensional, melainkan juga mencakup penyiaran digital. Konsekuensinya, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jadi meluas. Dalam revisi UU ini, KPI tidak hanya mengurusi penyiaran dalam konten konvensional yang ada di layar kaca atau layar lebar saja, namun KPI juga memperluas kewenangannya dalam ranah digital.

Selain itu, seperti diatur dalam Pasal 1 Nomor 4, 9, dan 17, KPI juga akan mengawasi dan mengatur konten-konten penyiaran yang tayang di platform digital. Luasnya definisi penyiaran dalam RUU Penyiaran dapat diartikan bahwa platform YouTube, Instagram, TikTok dan platform digital penyiaran lainnya akan diatur mengikuti draf RUU Penyiaran tersebut. Termasuk juga platform radio dan podcast sebagaimana tertera dalam Pasal 94. Pasal tersebut menjelaskan platform digital penyiaran meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara-gambar. Karena Platform Digital Penyiaran tak memproduksi konten sendiri, melainkan diproduksi oleh content creator, maka RUU ini juga dinilai mengarah ke content creator. Perubahan ini menurut Direktur Remotivi, Yovantra Arief, akan mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital.

“Undang-undang ini memaksakan pola pengaturan penyiaran konvensional di ranah digital. Padahal, kedua teknologi tersebut berbeda. Hal ini bukannya melindungi tetapi membatasi kreasi,” ujarnya.

 

RUU Penyiaran Membungkam Pers 

Konsekuensi lain dari perluasan dalam revisi UU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan Komisi Penyiaran Indonesia/ KPI. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida menyatakan bahwa hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers, karena selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat UU Pers. Lebih dari itu, pembungkaman terhadap pers artinya juga pembungkaman terhadap kelompok marginal, sebab pembatasan-pembatasan ini membuat ruang gerak pers dalam memberitakan kelompok rentan menjadi semakin sempit.

“UU Penyiaran memang sudah outdated, kita memang butuh revisi. RUU Penyiaran boleh direvisi, tetapi revisi yang kali ini justru memberangus kebebasan pers. Ini bukan cita-cita revisi yang kita inginkan. Ini merugikan banyak pihak.” Ujar Nani

KPI yang Diskriminatif dan Standar Ganda

Revisi UU Penyiaran ini juga akan memperburuk kualitas demokrasi Indonesia di ruang digital dan mendiskriminasi kelompok rentan. Khususnya beberapa poin yang merugikan masyarakat dan diskriminatif terhadap minoritas gender. Yaitu larangan isi siaran dan konten siaran, klausul ini ada di Pasal 56 ayat 2 (g).

“RUU ini melihat adanya kemunculan media baru sebagai ancaman keamanan nasional. Padahal, ini adalah wadah untuk kelompok marginal menyampaikan ekspresinya di ranah digital. Jangan-jangan ini bukan menjadi RUU Penyiaran, tetapi RUU Penyensoran,” kata Nenden S. Arum, Direktur SAFEnet

 

Astried, dari Jakarta Feminist juga menyatakan bahwa RUU Penyiaran akan membatasi kreativitas kalangan muda dan/ influencer/content creator yang juga aktif menyuarakan dan berekspresi pada isu-isu sosial.

“RUU Penyiaran ini luput perspektif gender, banyak pasal yang rancu dan multi tafsir sebab tidak ada pelibatan stakeholder dalam penyusunannya yang sunyi senyap. Misalnya jika pelarangan jurnalisme investigasi dilarang, ini akan memiliki pengaruh pada liputan-liputan mendalam terkait kekerasan atau femisida terhadap perempuan,” ujar Astried

“Pasal-pasal yang karet ini membahayakan anak muda yang mengkritisi banyak isu sosial. Jelas RUU ini berupaya untuk pembungkaman masyarakat sipil,” tambahnya

 

Sedangkan sarah, dari Perempuan Mahardhika menyoroti pembatasan persyaratan untuk menjadi komisioner KPI. Sarah menyatakan, bahwa penghilangan hak warga negara melalui pembatasan kebebasan mendaftar menjadi komisioner ini sama dengan penghilangan hak mereka sebagai warga negara yang seharusnya mendapatkan hak yang sama di dunia ini.

 

“Pembatasan ekspresi-ekspresi tertentu melalui penyensoran sebagai bentuk penyempitan ruang ekspresi kelompok marginal adalah bentuk pemiskinan struktural, ”  ujar Sarah.

 

Sedangkan, Ma’ruf Bajammal dari LBH Masyarakat menyatakan bahwa pelarangan peliputan jurnalisme penyiaran yang relevan untuk warga dan/pelarangan muatan konten yang mengandung narkotika dalam RUU Penyiaran, dapat menghambat kebijakan narkotika, khususnya terkait penggunaan ganja untuk keperluan medis.

 

“Dalam pasal 50 B ayat 2 terdapat pasal terkait penyensoran tayangan yang mengandung narkotika. Padahal, narkotika tidak selalu menyangkut yang sifatnya jahat, ada juga yang diperuntukkan bagi kepentingan medis. RUU ini memperkuat stigma terhadap narkotika dan pengguna narkotika itu sendiri karena adanya penyensoran tersebut,” ujar Ma’ruf.

 

Sistem Siaran Jaringan (SSJ) yang terkonsentrasi Pada Perluasan Kepemilikan Media

Selama ini penegakan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) tidak berjalan dengan baik, baik karena aturan turunan maupun regulatornya, sehingga konsentrasi kepemilikan dan geografis penyiaran semakin kuat. Dalam Draft revisi UU Penyiaran 2024, pasal terkait konsentrasi kepemilikan dan kewajiban SSJ memang telah dihapus yang “melegalkan” konglomerasi media serta konsentrasi kepemilikan dan konten. Namun ironisnya, naskah akademik RUU Penyiaran ini justru mencantumkan pemusatan kepemilikan dan konten.

“Industri penyiaran kita dikuasai oleh segelintir penguasa. Hal ini semestinya dilarang dalam RUU Penyiaran, namun yang terjadi justru dilegalkan dalam RUU penyiaran ini.  Sehingga, tidak akan tercipta keadilan ekonomi” Ujar Yovantra Arief

Maka dengan kondisi ini, Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi menyatakan sikap untuk:

Hentikan pembahasan RUU Penyiaran dalam prolegnas 2024 dan memulai kembali penyusunan RUU di periode DPR selanjutnya dengan pelibatan yang berarti dari stakeholder dan publik dengan beberapa catatan penting, yakni:

  1. menghapus pasal-pasal diskriminatif dalam revisi UU Penyiaran karena mendiskriminasi orang-orang atau kelompok tertentu melanggar Konvensi CEDAW, Konvensi anti Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pemerintah Indonesia di tahun 1984 meratifikasi CEDAW yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984.
  2. menghapus pasal-pasal pembungkaman pers, ketumpangtindihan kewenangan KPI dan Dewan Pers, sekaligus stop memperbesar pemusatan kepemilikan media

 

Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi:

Kalyanamitra, Perempuan Mahardhika, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH Masyarakat, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Jakarta Feminist, Remotivi, Konde.co, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan Ragam Berdaya Indonesia (YRBI), SEJUK, Arus Pelangi, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), PIKAT Demokrasi, Aliansi Jurnalis Independen/ AJI, LETSS Talk, YAPESDI, JALA PRT, WeSpeakUp.org

Kontak: Dila (Kalyanamitra), Email : [email protected] 0895-3652-66771

Foto: https://www.viva.co.id/berita/nasional/1715063-wartawan-di-malang-tolak-ruu-penyiaran-bikin-teatrikal-pembungkaman-pers