Jayapura – Sidang ke-53 Pengadilan Rakyat Permanen (PPT) yang membahas kekerasan negara dan lingkungan di Tanah Papua telah selesai diselenggarakan di London, 27-29 Juni 2024 lalu. Berdasarkan kesaksian 17 orang, yang didukung 10 orang saksi ahli, pemaparan bukti-bukti menguatkan dakwaan kejahatan negara dan lingkungan di Tanah Papua oleh Negara Indonesia.
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R. Kawer menjelaskan bahwa di dalam sidang itu, Negara Indonesia didakwa telah melakukan perusakan lingkungan hidup secara terorganisasi, termasuk perusakan ekosistem, pencemaran tanah, sungai-sungai serta anak-anak sungai, dan memberikan berbagai izin, konsesi dan struktur hukum yang membolehkan penyelewengan bagi perusahaan nasional dan asing agar menanam modal di West Papua dengan cara-cara yang mendorong terjadinya degradasi lingkungan hidup.
“Kemudian Amerika dan Inggris juga dituduh mempunyai perusahaan yang melakukan eksploitasi di Papua dan diminta untuk melakukan reparasi akibat pengrusakan lingkungan yang dilakukan itu,” kata Kawer yang turut hadir secara daring dalam pengadilan tersebut.
“Negara Indonesia juga didakwa telah mengambil tanah leluhur dari Orang Asli West Papua tanpa persetujuan mereka, menerapkan diskriminasi rasial yang mengakibatkan hilangnya budaya, tradisi, dan pengetahuan adat, menghapus sejarah mereka serta menggantinya dengan narasi nasional Indonesia,” lanjut Kawer.
Gustaf Kawer menjelaskan Pengadilan Rakyat Permanen tentang kerusakan lingkungan hidup dan penindasan negara di Tanah Papua ini itu baru pertama kali dilakukan untuk Papua. Menurut Kawer, peradilan semacam ini, yang juga diprakarsai oleh lembaga atau kampus itu pernah dilakukan untuk kasus Biak berdarah di Universitas Sydney.
“Mereka buat tapi skalanya agak kecil, dalam hal ini kasus Biak Berdarah saja. Dan rekomendasinya waktu itu, saya sendiri terlibat, dan itu negara dinyatakan juga melakukan pelanggaran HAM dalam kasus Biak berdarah,” lanjutnya.
Menurut pernyataan publik Panel Hakim Pengadilan Rakyat Permanen yang diterima Jubi, Jumat (5/7/2024), para hakim pengadilan baru akan mengeluarkan putusan penuh pada bulan September 2024. Namun mereka telah membuat pernyataan sementara pada hari terakhir persidangan, Sabtu 30 Juni 2024.
Dalam pernyataan tersebut, mereka mencatat bahwa Negara Indonesia, “telah membangun bayangan ketakutan melalui menggunakan kejahatan negara (dengan pembunuhan, penyiksaan, penganiayaan, penahanan yang tidak sah, pemaksaan, pemindahan dan penindasan hak-hak politik) serta pemberian kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan tersebut.
Kekerasan ini, menurut para hakim “mendukung kepentingan perusahan-perusahan asing dan nasional yang berinvestasi di Papua untuk tujuan ekstradisi dan ekspor minyak, gas, emas, dan tembaga yang murah, dan relatif tidak terbatas dari pegunungan dan daerah pesisirnya, serta kelapa sawit, gula dan tanaman perkebunan lainnya dari tanahnya, serta kayu dari hutannya.
Akibatnya “Negara Indonesia telah dengan kejam mengubah relasi leluhur orang Papua dengan tanah dan hutan hujan mereka”.
Masih mengutip keterangan pers panel hakim, Samira Homerang Saunders dari Centre for Climate Crime and Climate Justice mengatakan, “Selama tiga hari, diperdengarkan banyak kesaksian langsung yang mengharukan dan kuat tentang apa yang dialami oleh orang-orang Papua setiap hari. Nilai dari pengadilan ini terletak pada kenyataan bahwa PPT dapat menyediakan sebuah platform untuk mengangkat para saksi mata dari Papua, berbagi kisah-kisah personal mereka kepada khalayak global”
Menurut Homerang Saunders, orang Papua secara historis telah dipinggirkan dan dikucilkan dari sorotan wacana publik, dengan cara yang, seperti yang diilustrasikan melalui berbagai kesaksian para saksi, sangat disengaja oleh Pemerintah Indonesia.
Yohanes Mambrasar dari Tim Penuntut Umum mengatakan berbagai kesaksian yang disampaikan oleh para korban dan pembelaan hukumnya dalam pengadilan Persidangan Rakyat Permanen (PPT) adalah pengalaman langsung mereka yang menderita selama bertahun-tahun menuntut keadilan dari hukum dari pengadilan Indonesia.
“Pemerintah Indonesia dan aparat menutup diri [atau kebal hukum], sehingga tidak ada keadilan lagi bagi mereka. Hukum Indonesia tidak pernah memberikan keadilan. Melalui pengadilan ini rakyat Papua dapat membawa masalah ini ke dunia internasional dan mendorong badan-badan hak asasi manusia PBB untuk mengambil keputusan,” katanya seperti dikutip dalam siaran pers tersebut.
Mengutip situs permanentpeoplestribunal.org, Pengadilan Rakyat Permanen adalah sebuah pengadilan opini internasional yang berwenang untuk memutuskan setiap kejahatan serius yang dilakukan dengan merugikan masyarakat dan kaum minoritas. Pengadilan ini didirikan di Bologna pada tahun 1979 dalam konteks Deklarasi Universal Hak-Hak Rakyat (1976) berdasarkan initiatif ahli hukum dan politisi Italia, Lelio Basso.
Basso mentransformasi pengalaman Pengadilan Russell di Vietnam (1966-67) dan kediktatoran di Amerika Latin (1973-76) sehingga menciptakan sebuah lembaga permanen yang dikhususkan untuk mendengarkan orang-orang yang dipaksa berurusan dengan ketiadaan hukum dan kekebalan hukum.
PPT terdiri dari jaringan para ahli dan tokoh yang diakui secara internasional, yang berkumpul secara berkala untuk membentuk panel untuk setiap sesi. Saat ini PPT dipimpin oleh Philippe Texier dari Prancis dan Gianni Tognoni dari Italia.
Panel Hakim yang menyidangkan kekerasan negara dan kejahatan lingkungan di Tanah Papua ini terdiri dari tujuh orang dari berbagai negara dan komptensi.
Teresa Almeida Cravo dari Portugal, adalah seorang Profesor Hubungan Internasional di Fakultas Ekonomi dan Peneliti di Pusat Studi Sosial, di Universitas Coimbra, Portugal. Saat ini beliau adalah koordinator Program Doktoral Hubungan Internasional – Politik Internasional dan Resolusi Konflik.
Donna Andrews dari Afrika Selatan, adalah seorang akademisi-aktivis dan teoretikus feminis dengan sejarah panjang dalam kerja-kerja solidaritas. Karya terbarunya meneliti ekonomi politik pangan dalam konteks hubungan subjek sosial dengan alam, solidaritas planet, agensi feminis, transisi yang adil, dan kepentingan bersama.
Daniel Feierstein dari Argentina, adalah seorang peneliti di CONICET (Dewan Nasional untuk Penelitian Ilmiah dan Teknis) yang berbasis di Universidad Nacional de Tres de Febrero (Universitas Nasional Tiga Februari), Argentina, di mana dia mendirikan dan menjalankan Pusat Studi Genosida.
Marina Forti dari Italia, seorang jurnalis dan penulis yang berbasis di Roma. Selama tiga dekade ia bekerja di surat kabar harian “il manifesto”, menjabat sebagai Redaktur Luar Negeri dan Koresponden Luar Negeri; ia banyak melaporkan dari Iran, Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Larry Lohmann dari Inggris, seorang aktivis dan penulis yang bekerja di Corner House, sebuah LSM riset dan solidaritas di Inggris yang mendukung gerakan demokratis dan komunitas untuk keadilan lingkungan dan sosial.
Nello Rossi dari Italia, saat ini menjabat sebagai direktur editorial jurnal hukum “Questione Giustizia” di bawah naungan Magistratura Democratica. Beliau adalah Jaksa Agung di Mahkamah Agung Kasasi, Italia, dari tahun 2015 hingga 2017.
Solomon Yeo dari Solomon Islands, adalah seorang pengacara hak asasi manusia yang lahir dan dibesarkan di pulau Guadalkanal, Kepulauan Solomon. Dia mendedikasikan hidupnya untuk menangani berbagai masalah yang masih ada di Pasifik, terutama ketidakadilan iklim, dekolonisasi, dan politik pembangunan. (*)
Sumber: Jubi.id