Pers Pancasila mendapatkan tantangan berat dalam menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat. Revolusi industri babak keempat (4.0) dan terjadinya revolusi komunikasi babak ketiga dengan ditemukannya teknologi Internet, telah menjadikan dunia ini serba praktis, canggih, dan terkoneksi. Dalam kondisi zaman kekinian, informasi menjadi sangat penting dalam konteks masyarakat modern. Pers Pancasila, yang lahir dari rahim perjuangan para tokoh Indonesia, menjadi ideologi pers yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.
Ada empat model pers di dunia ini yang berpengaruh besar pada watak para wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Yaitu pers komunis, pers liberal, pers otoriter, dan pers tanggungjawab sosial. Pers Pancasila sebagai ideologi pers yang memberikan kebebasan pers namun tetap bertanggungjawab serta memiliki batasan-batasan hukum. Pers Pancasila diyakini mampu menjadi moderasi atas berbagai ideologi pers dunia di atas, karena memiliki nilai-nilai luhur bangsa Timur; namun tetap memberikan kebebasan kepada setiap individu tanpa merugikan hak dan kewajiban pihak lain.
Akan tetapi kini Pers Pancasila tidak dilaksanakan secara benar dan konsisten. Maraknya sengketa pers yang dipicu akibat pemberitaan yang menyudutkan dan merugikan pihak lain, menjadi bukti atas melaksanakan semangat Pers Pancasila. Berita yang tidak netral, sarat kebohongan, fitnah, cabul, dan tanpa konfirmasi yang masih sering dijumpai dalam pemberitaan di media massa belakangan ini, menimbulkan gejolak sosial luar biasa.
Adanya kampanye Pilkada 2024-sebentar lagi- menuntut profesionalitas dan independensi para wartawan dalam menyajikan berbagai informasi kepada publik. Faktanya, saat ini banyak pemilik media massa yang juga sekaligus sebagai politisi. Jelaslah sangat sulit bagi para wartawan terlepas dari bayang-bayang keinginan politik dari para pemilik media. Akibatnya, mereka dalam menyajikan berita dan informasi menjadi tidak netral. Sebut saja grup perusahaan media besar sekelas MNC Group (MNCTV, RCTI, GTV, INews), Media Group (Metro TV, Media Indonesia, Lampungpost), VIVA Group (TV One, ANTV), dan grup lainnya yang saat ini dimiliki para pengusaha media yang terlibat menjadi politisi atau tim sukses Calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu.
Tentunya para wartawan yang bekerja di grup-grup perusahaan di atas, memiliki tantangan yang paling berat dalam bersikap profesional dan independen dalam mempublikasikan informasi dan berita. Dalam konteks Pers Pancasila, posisi wartawan adalah pemroduksi pesan atau konten yang harus dijamin kemerdekaan dan keprofesionalitasannya dalam melakukan tugas jurnalistiknya.
Jangan sampai Pers Pancasila, ternodai dengan berbagai perilaku wartawan yang tidak bertanggung jawab. Dalam konteks Pers Pancasila, kebenaran dan hati nurani tetap menjadi kredo yang dinomorsatukan dalam setiap menjalankan tugas jurnalistik. Hal ini relevan dengan konsep 9 elemen jurnalisme (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001).
Sejarah pers Indonesia telah mengalami pengalaman panjang semenjak zaman kolonialisme sampai era reformasi. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, pers pribumi digerakkan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Berbagai tulisan yang ditayangkan oleh para tokoh pers pada masa itu dikerahkan untuk mendukung semangat mencapai kemerdekaan. Setelah merdeka, saat Orde Lama berkuasa; pers Indonesia mengalami pergeseran orientasi. Yakni menjadi partisan, di mana pers terkoneksi oleh kekuatan partai politik. Sehingga suara pers tidak lain adalah suara partai politik yang berada di belakang mereka. Semangat pers pada era tersebut, dikerahkan untuk membangun kekuatan politik.
Memasuki Orde Baru, pers kembali mengalami pergeseran peran. Yakni menjadi kekuatan untuk membangun ekonomi. Yang kemudian dikenal sebagai Pers Pembangunan. Memasuki Orde Reformasi, karakter pers kini menjelma menjadi kekuatan yang mengontrol berbagai pusat kekuasaan. Pengekangan terhadap pers yang pernah terjadi sejak era kolonialisme hingga Orde Baru telah berakhir dengan lahirnya Orde Reformasi. Di mana kebebasan pers menjadi watak pers pada masa Orde Reformasi ini. Namun ternyata, kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ternyata banyak disalahgunakan. Akibatnya kebebasan pers yang bertujuan untuk memberikan setiap orang memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat melalui berbagai berbagai saluran media yang ada, disalahgunakan baik oleh jurnalis maupun para pemilik media sendiri.
Apalagi kini para pemilik media besar di Indonesia, sekaligus menjadi politisi yang berharap dapat menduduki jabatan legislatif maupun eksekutif. Semakin dekatnya momentum Pilkada 2024 menjadi ujian berat bagi independensi dan profesionalitas para pekerja media, khususnya para wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sesuai dengan filosofi Pers Pancasila.
Secara filosofis, wartawan adalah profesi yang mulia karena menyampaikan informasi dan berita untuk banyak orang (publik). Karena mereka bekerja untuk menyampaikan informasi kepada publik, maka mereka sejatinya merupakan wakil rakyat. Untuk itulah, para wartawan selalu mendapatkan tempat mulia dalam khasanah kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
*) Penulis adalah Moh. Amin Sandilana, Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Umum Harian Online Kabar Indonesia Timur