banner hokitimur

Merawat Harmoni dalam Perbedaan Politik

banner 120x600

Harmoni—menjadi kata paling tepat untuk selalu dijunjung tinggi oleh para elit politik dan jutaan calon pemilih di tahun politik ini. Mengingat konflik, sengketa, gesekan, tawuran, cekcok, dan perseteruan antar kubu/poros pendukung Calon Presiden/Calon Wakil Presiden (Capres/Cawapres) bisa saja terjadi kapanpun dan di mana saja. Apalagi tensi politik semakin tinggi jelang Pemilihan Umum (Pemilu)—14 Februari 2024. Kampanye Pemilu yang berlangsung semarak, menyebabkan kontestasi Pemilu semakin menuju titik klimaksnya.

Seluruh partai politik mengerahkan kekuatan dan jaringan mesin politiknya untuk menjalankan dua misi sekaligus. Yaitu memenangkan Capres/Cawapres yang mereka jagokan. Menggolkan para Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang mereka usung menjadi wakil rakyat di DPR RI/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kotamadya. Kalau perlu bisa bekerjasama untuk mengamankan kursi legislatif di DPD RI melalui jalur perseorangan atau independen.

Politik adalah seni untuk berkuasa, sekaligus membuat kebijakan bernegara. Untuk bisa berkuasa, seorang politisi harus memiliki akses kepada partai politik (sebagai dukungan formal struktural) dan sekaligus dukungan kultural berupa massa. Sudah sewajarnya, saat ini ratusan ribu Caleg dan 3 pasang Capres/Cawapres mengerahkan seluruh energinya untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak-banyaknya melalui kampanye Pemilu 2024. Mereka mengerahkan berbagai sumber daya mereka berupa kecerdasan, harta (uang, tanah, emas, properti, dll.), jaringan (kekuatan politik dan kekuatan pergaulan sosial; termasuk jaringan media massa), dan kekuatan spiritual. Saling memperebutkan pengaruh ideologis inilah yang dilakukan oleh para elit politik terhadap lebih dari 204 juta pemilih tetap pada Pemilu 2024. Akibatnya, suara masyarakat menjadi terbelah. Konflik berpotensi mencuat kapan saja dan di mana saja pada masa kampanye Pemilu, Hari H Pemilu, dan pasca Pemilu.

Adanya pilihan politik yang berbeda antara 1 orang dengan yang lainnya, dapat memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat. Untuk itu, perlu ditanamkan kesadaran bersama (kolektif kolegial) dari berbagai pihak, bahwa perbedaan dalam pilihan politik; berbeda dalam pilihan Capres/Cawapres, perbedaan dalam memilih sosok Caleg, dan memilih partai politik adalah sebuah hal lumrah dan tidak perlu untuk diintimidasi apalagi diseragamkan. Keberagaman yang ada dalam peradaban manusia, termasuk dalam dunia politik adalah sebuah karunia besar yang layak dirawat dan dilestarikan bersama. Harmonisitas di tengah keberagaman masyarakat bangsa ini harus terus dijaga agar marwah sebagai negara kesatuan tetap terjaga dengan baik. Adanya keberagaman, justru menjadi potensi besar; sehingga bisa saling berdialektika dan saling melengkapi.

Faktanya, perdebatan yang disuguhkan para elit politik dalam Debat Capres/Cawapres, dapat saja menyulut emosi para pendukungnya di tingkat akar rumput. Sebab masing-masing orang memiliki kadar kedewasaan emosi berbeda-beda, kadar kematangan psikologis dan intelektualitas yang beragam juga. Perbedaan pilihan politik terutama dalam konteks Pemilu adalah keniscayaan dan tidak bisa ditolak. Menang dan atau kalah dalam kontestasi Pemilu, juga menjadi hal lumrah. Sejuta perbedaan di tengah masyarakat adalah rahmat bagi manusia dan alam semesta. Sebab tanpa adanya perbedaan, tidak ada dialektika kehidupan.

Manusia yang terdiri dari beragam ras, suku, etnis, bahasa, agama, gender, dan berbagai perbedaan latar belakang ideologis, sosial, kultural, dan politik merupakan hukum alam, takdir alam, dan kepastian dari Allah/Tuhan. Semua perbedaan tersebut harus disyukuri dan dipelajari dengan baik, karena di dalamnya terdapat banyak ilmu hikmah atau pelajaran hidup. Indonesia yang berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa, menjadi kekuatan besar di dunia. Sebab menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 setelah China, India, dan Amerika Serikat.

Sejarah konflik (baik konflik vertikal, horisontal, dan kombinasi keduanya) yang sudah ada di negeri ini sejak zaman kerajaan, era kolonialisme, pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi menjadi pelajaran hidup agar tidak diulangi.  Berhubungan dengan Pemilu yang diikuti 3 pasang Capres/Cawapres, serta ratusan ribu Caleg yang diusung oleh 18 partai politik nasional (dan 6 partai politik lokal di Aceh), praktis dipenuhi adegan kompetisi/kontestasi, konflik, sekaligus kerjasama. Kontestasi Pemilu 2024 hanya memperebutkan jabatan 2 kursi eksekutif (RI 1 dan RI 2) dan puluhan ribu jabatan legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kotamadya), tentu menjadi puncak pertaruhan kredibilitas, reputasi, harga diri, dan kekuatan politik dari para politisi sendiri dan juga pengaruh partai politik pengusungnya.

Para elit politik sengit memperebutkan jabatan tersebut melalui berbagai strategi kampanye Pemilu. Kampanye Pemilu baik secara langsung dengan tatap muka maupun tidak langsung dilakukan dengan penuh perhitungan, pertimbangan, dan strategi. Media massa saat ini dapat dipastikan seluruhnya menyajikan konten-konten politik atau berhubungan dengan dinamika kampanye Pemilu 2024 karena menjadi topik dan isu paling trendi saat ini.

Kompetisi di tingkat elit kekuasaan; di mana para politisi menggerakkan massanya masing-masing, baik melalui jaringan partai politik, gabungan partai politik, maupun melalui jaringan pendukungnya; membuat hiruk-pikuk politik nasional dapat mengundang beragam konflik. Konflik secara vertikal di tingkat elit, bisa dibarengi konflik di tingkat horisontal pada lapisan akar rumput. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari aksi dukung-mendukung antar kandidat. Jika dipetakan, potensi konflik dalam Pemilu 2024 ini sangat besar. Pertama, kompetisi antara Capres/Cawapres beserta tim sukses dan gabungan partai politik pengusunya. Kedua, kompetisi antar Caleg yang memperebutkan kursinya. Dalam kalkulasi matematis yang pernah dilakukan penulis, rata-rata 1 kursi jabatan DPR RI atau DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya diperebutkan oleh 12-15 Caleg. Dengan demikian rivalitasnya tinggi. Model kompetisi dalam perebutan 1 kursi legislatif pun ada tiga tipe. Yaitu model kompetisi yang menarungkan antar Caleg berbeda partai politik pengusung. Model lain yaitu kompetisi internal Caleg dalam partai politik pengusung sendiri. Artinya, sesama Caleg yang diusung oleh partai politik yang sama, juga sangat besar peluangnya untuk saling “mematikan” atau saling “mengalahkan”. Model yang ketiga yaitu kompetisi antar Caleg yang beda daerah pemilihan sekaligus yang sama partai politiknya maupun beda partai politik pengusungnya; namun memperebutkan jatah kursi legislatif yang sama pada tingkat nasional.

Publik dan lebih dari 204 juta pemilih di berbagai daerah di Indonesia harus memiliki kecerdasan diri dalam menentukan para kandidat yang mereka pilih untuk duduk menjadi RI-1, RI-2, maupun menjadi anggota legislatif. Mereka harus memiliki sikap selektif dan menjauhkan dari perilaku emosional; justru harus mengandalkan semangat rasionalitas dan spiritualitasnya. Mencari dan menemukan jejak rekam dan capaian hidup dari para Capres/Cawapres dan Caleg, merupakan tindakan terhormat yang layak diapresiasi. Pers, khususnya para wartawan juga harus melakukan liputan secara objektif, imparsial, dan netral dalam menyajikan berita tentang kampanye Pemilu 2024 dan dinamikanya. Jangan sampai media massa justru menjadi pihak yang memancing emosi dan memicu terjadinya konflik antar pendukung Capres/Cawapres atau pendukung antar Caleg.

Indonesia yang memiliki penduduk dengan berbagai keragamannya, harus mampu menjalankan pesta demokrasi 5 tahunan dengan penuh kearifan, kejujuran, dan semangat kekeluargaan. Pengalaman 12 kali Pemilu sebelumnya (Pemilu 1955, Pemilu 1971; Pemilu 1977; Pemilu 1982; Pemilu 1989, Pemilu 1992; Pemilu 1997; Pemilu 1999; Pemilu 2004; Pemilu 2009; Pemilu 2014; dan Pemilu 2019) dapat menjadi dasar pijakan dari para pemilih untuk menentukan para pemimpin di tingkat eksekutif dan legislatif yang benar-benar kredibel, profesional, dan prorakyat. Para Capres/Cawapres dan Caleg yang besok ditakdirkan mampu memenangi Pemilu 2024 juga tidak boleh sombong dan arogan atas hasil akhir pesta demokrasi tersebut. Mereka harus segera menggandeng pihak-pihak yang kalah agar bisa saling bekerjasama untuk memajukan pembangunan nasional dan daerah. Untuk mereka yang kalah, jangan putus atas, jangan marah, dan jangan stres, apalagi bunuh diri. Masa depan masih cerah, dan masih ada harapan esok kembali. Harmoni dalam keberagaman pilihan politik, perbedaan suku, agama, etnis, gender, dan latar belakang sosial lainnya; menjadi kunci penting bagi terwujudnya Indonesia yang tangguh, kokoh, berkeadilan sosial, dan berperadaban tinggi.

 

*) Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom., Studi S3 Doktoral llmu Komunikasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta, Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi STIKOM Yogyakarta

 

Sumber: Harian Bhirawa edisi 30 Januari 2024