Kasus bunuh diri di Indonesia terus mengalami peningkatan sangat signifikan. Hal ini menunjukkan adanya gejala kegagalan berbagai pihak dalam mengatasi masalah bunuh diri di Indonesia. Kasus terbaru mengenai bunuh diri menimpa banyak orang di berbagai kota di Indonesia pada Juni 2024 ini. Kasus bunuh diri ternyata tidak mengenal profesi. Para pelaku bunuh diri ada yang berlatar belakang mahasiswa, tentara, ibu rumah tangga, masyarakat biasa, dan lain sebagainya. Fakta sosial tersebut menguatkan bahwa perilaku bunuh diri dapat menimpa siapapun orang yang tak kenal perbedaan gender, agama, profesi, usia, status sosial, bahkan ras.
Berdasarkan pemberitaan terkini di media massa, peneliti setidaknya menemukan kasus bunuh diri sebanyak 10 orang pada bulan Juni 2024 ini. Mereka adalah seorang mahasiswa Telkom University Bandung angkatan 2020 yang ditemukan tewas diduga bunuh diri di kamar kosnya pada 2 Juni 2024. Mahasiswa tersebut berasal dari keluarga kaya (tak ada masalah dengan biaya kuliah), nilai akademiknya juga tinggi; dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya (Tempo edisi 5 Juni 2024).
Ada lagi seorang mahasiswi berinisial AZ (22 tahun) di Yogyakarta ditemukan tewas diduga bunuh diri di kamar kosnya karena putus asa diputus pacarnya pada 31 Maret 2024 (Kompas edisi 1 April 2024). Seorang prajurit TNI AD Prada PS ditemukan meninggal dunia diduga gantung diri di sebuah kamar rumkit lapangan di Bogor (Kompas edisi 5 Juni 2024). Jika diruntut, masih banyak lagi kasus bunuh diri di berbagai daerah termasuk di Donggala, Palu, Jakarta, Makassar, dan lainnya yang layak menjadi kajian akademis, kajian medis, kajian sosial, kajian sosiologis, dan kajian multi perspektif lainnya.
Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), terdapat 287 kasus bunuh diri di Indonesia sejak 1 Januari sampai 15 Maret 2024 saja. Berdasarkan lokasi kejadiannya, wilayah Jawa Tengah menjadi provinsi yang paling banyak ditemui kasus bunuh diri sebab ada sebanyak 97 kasus (33,78 persen). Lokasi kedua diduduki oleh Jawa Timur di mana terdapat 47 kasus bunuh diri, Bali terdapat 31 kasus bunuh diri; Sumatera Utara terdapat 16 kasus bunuh diri; Jawa Barat terjadi 11 kasus bunuh diri; DIY ditemukan 10 kasus bunuh diri; Bengkulu terdapat 9 kasus laporan bunuh diri, serta Kalimantan Barat dan Lampung masing-masing terdapat 8 kasus bunuh diri, serta Kalimantan Selatan dijumpau 7 kasus bunuh diri. Dengan demikian, terhitung sejak tahun 2018-2024 terdapat 3.905 kasus bunuh diri di Indonesia. Rinciannya: 3 kasus bunuh diri tahun 2018; 230 kasus tahun 2019; dan 640 kasus bunuh diri pada tahun 2020; serta berturut-turut tahun 2021, 2022, dan 2023 adalah: 629 kasus; 902 kasus; serta 1.214 kasus bunuh diri. Tahun 2024 ini juga terdapat 287 kasus bunuh diri. Data statistik tersebut menunjukkan kenaikan sangat signifikan tiap tahun; dan menguatkan bahwa kasus bunuh diri menjadi ancaman serius bagi keselamatan masyarakat.
Mari kita analisis tren kasus bunuh diri di atas dengan meminjam pisau analisis yang dimiliki oleh tokoh besar bernama: Ki Ageng Suryo Mentaram, Martin Luther King Jr, dan Mahatma Gandhi. Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, bahwa manusia akan terus mengalami kekecewaan hidup manakala yang bersangkutan merasa tidak puas akibat keinginan dan hasrat mereka tidak tercapai dengan baik. Dalam kasus bunuh diri yang dilakukan oleh ribun orang di Indonesia pada tahun 2018-2024 ini, dapat ditarik simpulan bahwa orang yang melakukan bunuh diri tidak muncul tiba-tiba, melainkan sudah terencana dan terniatkan sebelumnya. Keputusan melakukan bunuh diri yang dilakukan seseorang dilakukan dengan cara menyepi di tengah kesunyian dan atau mencoba menyepi di tengah keramaian. Pada umumnya, tempat yang dijadikan lokasi bunuh diri adalah tempat yang dianggap paling nyaman dan privasi bagi para pelakon bunuh diri; bisa di ruang kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan tempat-tempat lainnya.
Orang yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena mengalami putus asa, depresi berat, jalan buntu, merasa tak ada solusi, merasa tidak memiliki famili atau teman atau orang lain yang bisa memahami dirinya, memandang bahwa orang lain semuanya jahat dan tidak peduli, serta bingung menemukan jalan keluar atas masalah yang menimpa dirinya dan atau keluarga dan atau orang-orang yang dicintainya. Termasuk kasus bunuh diri akibat kekecewaan berat setelah diputus hubungan dengan pacar/kekasihnya, dikhianati oleh suami atau istrinya, dan perasaan hati yang tersakiti lainnya dapat memicu tindakan bunuh diri.
Ki Ageng Suryo Mentaram (1892-1962), yang dikenal sebagai seorang filsuf Jawa-Islam pernah mengajarkan mengenai kawruh bejo atau pengetahuan untuk hidup bahagia atau beruntung. Dalam konteks pemikiran/ilmu kawruh bejo, Ki Ageng Suryo Mentaram menekankan bahwa manusia yang bejo atau untung apabila manusia mampu memiliki kesadaran diri atas keinginannya dan hal-hal yang berkenaan dengannya. Manusia yang bejo (untung) atau manusia yang bahagia adalah manusia yang memiliki olah rasa dan olah pikiran yang tepat atas dirinya sendiri dalam berhubungan dengan realitas dan dalam berelasi dengan sesamanya. Prinsip ajaran kawruh bejo memiliki 4 dimensi kesadaran yakni kesadaran panjang, lebar, tinggi, dan dimensi simpati maupun empati pada orang lain.
Orang yang memilih melakukan bunuh diri, dalam pandangan Ki Ageng Suryo Mentaram berarti orang yang egois dan tidak mau melakukan perjuangan hidup. Solusi yang ditawarkan menurut pemikiran Ki Ageng Suryo Mentaram terhadap perilaku bunuh diri yakni agar masyarakat, terutama mereka yang berpotensi melakukan bunuh diri (saat ini sedang mengalami depresi berat, kekecewaan mendalam, sakit hati, putus asa, dan bentuk dilema lainnya) harus menerapkan ilmu kawruh bejo yakni dengan berdiskusi dengan banyak orang. Melalui tukar kawruh jiwa atau kawruh bejo ini, membuat beban problematika kehidupan yang dialami oleh seseorang menjadi berkurang atau bahkan hilang. Artinya, jika jalan “padang” itu ditempuh oleh mereka yang mengalami imajinasi bunuh diri dan perilaku bunuh diri, mereka bisa membatalkannya dan mengubah keputusannya.
Senada dengan itu, Mahatma Gandhi yang hidup pada tahun 1869–1948 membukakan kesadaran manusia bahwa tentang esensi dari kemanusiaan itu sendiri yang meliputi 4 nilai perjuangan hidup sekaligus yaitu: Ahimsa, Satyagraha, Swadesi, dan Hartal. Ahimsa maknanya perbuatan tidak menyakiti sesama, namun lebih kepada sikap menolak keinginan untuk membunuh, tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan sendiri dengan memperalat orang lain, dan sejenisnya. Satyagraha artinya memegang teguh kebenaran dengan tidak mengenal lelah, serta jalan untuk mencapainya dengan mempraktikkan ahimsa. Swadesi sebagai bentuk rasa cinta terhadap tanah air, serta mengabdi kepada masyarakat yang sebaik-baiknya terlebih dahulu. Hartal adalah semacam pemogokan nasional yang dilakukan dengan berpuasa serta melakukan kegiatan keagamaan.
Dalam pandangan Mahatma Gandhi, orang yang bunuh diri berarti orang yang menyakiti dirinya sendiri. Prinsip hidup yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi adalah ajaran Ahimsa di mana seseorang dilarang untuk menyakiti orang lain, apalagi sampai membunuhnya. Dengan analogi tersebut, membunuh orang lain saja tidak diperkenankan, membunuh diri sendiri juga merupakan bentuk pengingkaran dari rasa bersyukur. Bunuh diri juga berlawanan dengan prinsip Satyagraha karena tiap orang dilarang putus asa atau pesimistis. Orang yang bunuh diri adalah orang yang putus asa dan pesimis akan masa depannya. Pelaku bunuh diri juga bertentangan dengan semangat swadesi, di mana mereka seharusnya bisa hidup lebih panjang dan berguna bagi kontribusi pembangunan nasional, namun justru memilih mengakhiri hidupnya. Di samping itu perilaku bunuh diri juga berlawanan dengan spirit Hartal yakni gerakan bersama untuk melakukan penyucian diri dengan mendekatkan diri kepada Allah. Jelas perbuatan bunuh diri, juga bertentangan dengan semangat Hartal tersebut.
Dalam perspektif Martin Luther King Jr. yang hidup pada tahun 1929 – 1968, mengajarkan bahwa segala bentuk konflik fisik maupun non fisik dapat diselesaikan tanpa menggunakan pendekatan kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru dan siklus atau lingkaran setan kekerasan (akibat balas dendam dari generasi ke generasi berikutnya). Adanya diskriminasi dan perlakukan tidak adil (rasial dan bentuk dehumanisasi) merupakan bentuk konflik yang dapat memicu terjadinya penindasan baik secara fisik, psikologis, mental, maupun intelektual. Bahwa pelaku bunuh diri memilih bunuh diri karena dinilai menjadi jalan atau solusi atas masalah hidup yang dihadapinya. Bahwa bunuh diri adalah bentuk kekerasan fisik yang menyiksa diri sendiri, sehingga perbuatan tersebut bertentangan dengan ajaran resolusi konflik tanpa kekerasan.
Dengan demikian, sejatinya solusi masalah kasus bunuh diri bisa diselesaikan melalui sejumlah pendekatan yakni dengan menerapkan kawruh bejo yang merupakan ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram, bisa juga dengan pendekatan melalui ajaran Mahatma Gandhi yakni dengan menerapkan 4 nilai perjuangan hidup yakni Ahimsa, Satyagraha, Swadesi, dan Hartal. (*)
*) Supadiyanto, M.I.Kom., Studi Doktoral S3 Ilmu Komunikasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta