banner hokitimur

Masalah Etika Politik dalam Kampanye Pemilu 2024

banner 120x600

Politik itu kejam, namun politik itu juga mulia. Politik itu kotor, meskipun politik itu juga suci. Politik itu menghalalkan segala cara, kendati dalam politik itu penuh dengan etika. Dalam politik klasik, kebaikan yang ditebar oleh politisi atau pejabat negara itu harus disembunyikan atau tidak perlu dipamerkan. Agar tidak ada orang yang tahu, kecuali yang bersangkutan dan orang yang diberikan kebaikan tersebut.

 

Dalam politik kontemporer, seolah berlaku hukum kebalikannya; di mana kebaikan yang ditebar oleh politisi atau pejabat negara itu harus ditonjolkan, bahkan dipamerkan.

Agar banyak orang tahu akan kebaikan politisi atau pejabat negara yang politisi tersebut. Harapannya agar kebajikan yang dilakukan tersebut dapat diketahui sebanyak mungkin orang. Dengan demikian, saat adanya hajatan Pemilu ataupun Pilkada; kebajikan-kebajikan yang sudah dilakukan dan dipamerkan tersebut dapat dijadikan sebagai penarik simpati dan suara. Sehingga yang bersangkutan bisa memenangkan kontestasi tersebut.

Pertanyaannya, bagaimanakah etika politik para politisi di Indonesia menjelang Pemilu 2024? Ada empat watak perilaku dari para politisi dan pejabat negara di Indonesia saat ini. Pertama, politisi yang berwatak ksatria dan negarawan. Politisi model ini memiliki karakter yang selalu memprioritaskan kemaslahatan berbangsa dan bernegara di atas segalanya. Karirnya bisa melesat cepat secara natural, alamiah; mulai dari menjadi politisi lokal, sampai menjadi politisi nasional. Dalam dirinya tertaut ideologi berpolitik yang kuat karena lahir dari gemblengan perjalanan sejarah, dan umumnya, politisi seperti ini memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dengan politisi senior atau tokoh nasional (bidang militer, pengusaha, dll.), baik yang sudah meninggal dunia maupun masih hidup. Sebut saja, politisi negarawan dan ksatria seperti Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan lain sebagainya. Mereka terkoneksi oleh partai politik berhaluan kebangsaan dan kenasionalan.

Kedua, yaitu politisi yang berwatak relijius-spiritualis. Politisi model ini menonjolkan perilaku kesantunan dalam beragama, dan menjadikan nilai-nilai agama sebagai moral politik. Politisi religius selalu mengedepankan simbol-simbol agama, ajaran agama, dan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan dalam memutuskan sikap dan keputusan dalam berpolitik. Konektivitas para politisi religius pasti bersinggungan dengan partai politik yang mengusung nilai-nilai religiusitas sebagai pakemnya. Politisi religius bisa kita sebutkan seperti para politisi yang tergabung dari PKS, PKB, PPP, dan PBB. Tokoh-tokohnya bisa Anda temukan sendiri.

Ketiga, jenis politisi “iguana”. Julukan lainnya yakni politisi kutu loncat, atau politisi oportunistik. Yang bersangkutan memiliki watak yakni menganggap bangsa partai politik adalah sekadar kendaraan politik atau medium yang bisa diperjualbelikan; atau disewakan; untuk mengantarkan yang bersangkutan ke tampuk kekuasaan legislatif dan eksekutif. Artinya, politisi model demikian hanya akan berpolitik dengan bergabung ke partai politik manakala menguntungkan dirinya.

Jika yang bersangkutan bergabung dengan partai politik A kemudian partai politik tersebut sudah tidak memberikan keuntungan padanya, maka yang bersangkutan segera berlabuh ke partai politik B, dan demikian seterusnya. Kita bisa melihat banyak politisi lokal maupun politisi nasional yang memiliki jejak rekam demikian. Partai politik diibaratkan seperti perusahaan, yang menawarkan untung dan rugi, jika sedang untung maka diambil; jika sedang rugi, segera ditinggalkan.

Keempat, politisi busuk alias politisi koruptif. Dari sejak awal berpolitik, yang diincar adalah pusat kekuasaan. Yakni menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota/Provinsi, DPR RI, atau DPD RI; bahkan Presiden dan Wakil Presiden; atau bisa juga menteri. Karena posisi menteri sangat politisi yang menjadi tim sukses dari Capres-Cawapres yang memenangkan kontestasi. Watak politisi busuk seperti ini, mereka akan menampilkan segala kebaikan di mata publik, seluruhkan diekspos di mata media. Slogannya, tangan kanan melakukan kebaikan, maka tangan kiri harus memberitakan. Ketika tangan kanan melakukan kejahatan, maka tangan kiri dilarang untuk mengetahuinya. Segala cara mereka lakukan asalkan bisa berkuasa dan memenangkan kontestasi. Politisi busuk bisa saja berani membarter “tubuhnya” untuk dinikmati para pemegang kekuasaan asalkan yang bersangkutan mendapatkan kekuasaan atau keinginan yang dimauinya.

Wajarlah jika kemudian banyak pejabat negara yang politisi akhirnya menjadi koruptor kelas kakap, dan masuk penjara. Berkawan dengan politisi busuk sangat berisiko menghancurkan karir politik seseorang. Mari kita lihat praktiknya sekarang. Kendati Pemilihan Umum dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden sekaligus Anggota Legislatif tingkat pusat dan daerah secara serentak baru akan digelar pada Rabu, 17 Februari 2024; namun berbagai manuver politik para politisi sudah terasa di sekitar kita. Masa kampanye Pemilu juga secara legal formal baru diperbolehkan pada 28 November 2023 s/d 10 Februari 2024.

Hal tersebut sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024. Berbagai baliho bakal calon anggota legislatif termasuk bakal calon Presiden dan Wakil Presiden sudah mulai bertebaran di berbagai titik strategis di berbagai kota di Indonesia. Media sosial juga sudah diramaikan dengan nada-nada kampanye dari para kandidat. Ada yang menampilkan cara-cara yang elegan, namun ada juga yang menyuguhkan cara-cara yang jauh dari etika politik. Kampanye dengan nada menyerang karakter lawan politik atau kompetitornya, jelas menjadi kampanye yang jauh dari etika. Kampanye Pemilu yang bernada politik identitas untuk memecahbelah juga bukan menjadi bagian dari kesantunan dalam kampanye Pemilu.

Mari kita cermati bahasa, kata, idiom, logo, simbol, pakaian/busana, dan slogan-slogan yang digunakan para Caleg dan Capres-Cawapres yang saat ini sudah mulai bermunculan, dan kita kritisi melalui kajian-kajian etika komunikasi, etika politik, dan etika dalam berperadaban dan berbangsa-bernegara.

Apakah bahasa atau tanda semiotika yang digunakan oleh para politisian itu menggunakan cara-cara yang santun ataukah kekerasan-kekerasan atau kekasaran bahasa yang mengarah kepada pembunuhan karakter dari para kompetitornya? Mari berkontestasi dengan beriklan dan berkampanye Pemilu 2024 dengan santun, etis, dan berperadaban! Pada bagian atas artikel ini, sengaja ditampilkan salah satu bentuk iklan politik dan iklan Pemilu 2024, di mana Anda sebagai pembaca bisa memaknai secara bebas akan kualitas iklan tersebut!

*) Muh. Amien Sandilana, Pemimpin Redaksi/Pemimpin Umum Harian Online Kabar Indonesia Timur