banner hokitimur

Kuasi Kuasa Ketua Umum Parpol, Caleg “Joki”, dan Celah Hukum dalam Pemilu 2024

banner 120x600

Politik adalah seni untuk mengelola kebijakan dalam berbangsa dan bernegara. Orang yang bergelut dalam dunia politik dinamakan politisi, atau dalam bahasa pop-nya adalah politisian. Lahirlah terminologi politisi sejati dan politisi oportunis. Politisi sejati ditandai dengan pengabdian yang tulus dan total untuk kemajuan pembangunan daerah dan nasional.

Politisi oportunis yakni jenis politisian yang sekadar mengejar kekuasaan, menghalalkan segala cara, politik jalan pintas, dan potong kompas, asal bisa menguasai. Kendaraan atau medium yang digunakan untuk menjadi politisi untuk bisa berkuasa adalah melalui partai politik. Partai politik adalah rumah besar bagi para politisian.

Partai politik adalah jantung dari kekuasaan itu sendiri. Politisi memiliki karir politik, dan memang dapat dirancang bisa menjadi semacam tangga kekuasaan baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Politisi dan kekuasaan ibaratnya dua telapak tangan yang tak bisa dipisahkan. Apalagi dalam karir politik, kekuasaan di tingkat legislatif tidak mengenal batas periodesisasi, sebagaimana kekuasaan di tingkat eksekutif. Jika pejabat eksekutif, misalnya Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan atau Wakilnya hanya bisa menjabat maksimal selama 2 kali periode secara berturut-turut atau maksimal 10 tahun saja; maka jabatan sebagai anggota legislatif tidak mengatur demikian. Seorang anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan juga DPD RI, dapat menjabat kembali berulang-ulang tanpa ada batasan masa jabatannya; asalkan menang dalam setiap momentum Pemilu Legislatif. Bisa saja seumur hidup, asalnya yang bersangkutan selalu memenangkan kompetisi Pemilu setiap 5 tahunan.

Sepanjang yang bersangkutan masih mendapatkan dukungan dari partai politik dan masyarakat pemilih di daerah pemilihan masing-masing; sepanjang hidupnya yang bersangkutan bisa menduduki jabatan tersebut. Sebagaimana diketahui bersama, KPU Pusat, KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota se-Indonesia telah menutup pendaftaran Bakal Calon Anggota Legislatif DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Ahad 14 Mei 2023 kemarin.

Agendanya kemudian, KPU/KPUD akan mengumumkan Daftar Caleg Sementara secara serentak pada 19-23 Agustus 2023 mendatang. Masyarakat dapat memberikan kritisi dan sanggahan terkait jejak rekam semua Bakal Caleg yang masuk dalam Daftar Caleg Sementara tersebut sampai maksimal 28 Agustus 2023 mendatang. Jika tidak ada kendala, merujuk informasi dari KPU, pengumuman Daftar Caleg Tetap akan dipublikasikan pada 4 November 2023.

Pertanyaannya, mungkinkan para politisi oportunis memainkan perannya sebagai Caleg “joki”? Atau sekadar sebagai Caleg yang sebenarnya sengaja dipasang oleh Ketua Umum partai politik tertentu dan Sekjen partai politik tertentu untuk kemudian namanya pada saat masa pencermatan Daftar Caleg Tetap diumumkan, Caleg “joki” tersebut diganti oleh para politisi yang saat ini menjabat sebagai Kepala Daerah, misalnya sebagai Gubernur, Bupati, Walikota, atau Wakilnya?

Dalam kajian hukum Kepemiluan, merujuk pada Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabuapten/Kota, khususnya Pasal 81 ayat 1 dan Pasal 82 ayat 1.
Pasal 81 ayat 1 bunyinya demikian: “Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan perubahan rancangan DCT pada masa pencermatan rancangan DCT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) dalam hal: a. terdapat perbedaan tanda gambar dan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu serta nomor urut, nama lengkap, dan foto diri terbaru calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; b. calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diganti berdasarkan persetujuan dari ketua umum Partai Politik Peserta Pemilu atau nama lain dan sekretaris jenderal Partai Politik Peserta Pemilu atau nama lain yang sah sesuai dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia tentang pengesahan susunan pengurus partai politik tingkat pusat; dan/atau c. mengajukan perpindahan Dapil terhadap calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada lembaga perwakilan dan Partai Politik Peserta Pemilu yang sama”.

Pasal 82 ayat 1 bunyinya demikian: “Partai Politik Peserta Pemilu pada masa pencermatan rancangan DCT dapat mengajukan penggantian calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b dengan mengajukan dokumen persyaratan Bakal Calon setelah mengirimkan data dan dokumen persyaratan Bakal Calon kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota melalui Silon“.

Bahwa Caleg “joki”, merujuk regulasi KPU RI Nomor 10 Tahun 2023 yang ditetapkan KPU pada 17 April 2023 tersebut jelas diperbolehkan dan legal formal alias boleh-boleh saja. Atau barangkali memang itu celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para Ketua Umum parpol yang memilik kuasi kuasa dan otoritas penuh untuk mengatur lalu lintas daftar Caleg Sementara maupun Daftar Caleg Tetap yang diusulkan dari partai politiknya. Apakah keuntungannya dengan menjadi Caleg “joki”?

Inilah sejatinya yang harus dikejar motivasi dan motif politis, ekonomis, dan budaya politisnya. Pertama, Caleg “joki” bakal mendapatkan komisi politik dari Caleg yang akan menggantikannya, atau bisa jadi malahan Caleg yang akan menggantikan itu justru Ketua Umum partai politiknya sendiri bisa yang bersangkutan Ketua Umum partai politik tingkat pusat, maupun Ketua Umum partai politik tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Bagi para Ketua Umum partai politik tingkat pusat maupun daerah yang saat ini tengah menjabat sebagai pejabat eksekutif, misalnya menjadi Gubernur atau Walikota, dan atau Bupati dan Wakilnya, yang bersangkutan tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya karena harus mendaftarkan diri menjadi Caleg dari partai politik. Mengingat regulasi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 11 ayat 1 butir k, memang mewajibkan para kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib untuk mengundurkan diri. Adapun bunyi regulasi di atas demikan: “Persyaratan administrasi Bakal Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b merupakan warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali”.

Secara teknis, Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah yang saat ini menjabat yang juga kebetulan berposisi sebagai Ketua Umum partai politik tingkat provinsi atau kabupaten/kota, tidak perlu mengundurkan diri ketika mendaftarkan diri menjadi Caleg, karena dibantu sementara oleh Caleg “joki” tersebut. Yang sesungguhnya, Caleg “joki” adalah bayangan semu dari Caleg yang menjadi orang kepercayaan dari Ketua Umum partai politik tertentu tersebut dan atau bahkan bisa saja Caleg yang akan menggantikan Caleg “joki” tersebut adalah dirinya sendiri dan atau famili dan Ketua Umum partai politik tertentu tersebut.

Secara bisnis politik, hal tersebut menguntungkan secara waktu, sebab ada jeda waktu selama 7 bulan (Mei 2023 s/d November 2023) masih bisa menjabat tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya. Berapa gaji bulanan yang didapatkan seorang Gubernur, Bupati, Walikota, dan Wakilnya? Besar Bung, mau tahu, lihat regulasinya saja. Tentu saja Kepala Daerah yang saat ini masih menjabat dan posisi pencalegannya digantikan oleh Caleg “joki” tersebut akan memberikan upah politik kepada Caleg “joki” karena bisa memperpanjang nafas kekuasaan paling tidak selama 7 bulan.

Fakta politiknya, sampai 14 Mei 2023 pukul 24.00 WIB ketika pendaftaran Caleg semua tingkatan ditutup oleh KPU/KPUD se-Indonesia, minimal sudah ada tujuh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sudah mengundurkan diri dan menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada KPU/KPUD. Mereka adalah: Bupati OKI Iskandar, Wakil Bupati Kabupaten Lingga Neko Wesha Pawelloy, Wali Kota Jambi Syarif Fasha, Walikota Palembang Harnojoyo, Wakil Wali Kota Ternate Jasri Usman, Wali Kota Palembang Harnojoyo, Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin.

Menurut pandangan penulis, regulasi yang dibuat oleh KPU yang membuka peluang adanya Caleg “joki” harus direvisi dan diganti, sebab hanya akan dimanfaatkan oleh para politisi oportunis dan Caleg “joki” yang sejatinya tidak menguntungkan untuk sistem demokrasi. Memang hal tersebut atau menjadi Caleg “joki” bukan perbuatan melanggar hukum, bukan kriminal juga; sebab hal tersebut tidak ada larangan dalam regulasi perpolitikan di Indonesia.

Para kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang sudah menjabat selama 2 periode berturut-turut saat ini yang berpeluang besar bekerjasama atau memanfaatkan celah hukum tersebut dengan memasang Caleg “joki”. Ayo kita cermati Gubernur, Bupati, Walikota dan Wakilnya daerah mana saja yang saat ini sudah menjabat selama dua periode berturut-turut? Sebab karir politik politisi tersebut akan mentok karena sudah menjabat selama dua periode jika tidak berganti haluan dengan menjadi anggota legislatif yang tidak dibatasi periodenya. Dan DPR, DPRD, DPD RI adalah lahan parkir kekuasaan paling luas dan tanpa batas untuk para politisian yang sudah habis karirnya di eksekutif dan apalagi masih haus akan kekuasaan, sebab tidak ada pembatasan periode di sana.

Para kepala daerah yang akan maju mendaftarkan diri menjadi Caleg, dengan motivasi apapun, apakah karena memang sudah dua kali menjabat secara berturut-turut sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, harus bersikap ksatria dengan tidak bermain dua kali, dengan bermain mata dengan Ketua Umum partai politik tertentu dengan memasang Caleg “joki”ang menjadi boneka politiknya. Otoritas Ketua Umum dan Sekjen partai politik di tingkat pusat maupun daerah yang memiliki otoritas tunggal dalam mengusulkan dan mendaftarkan daftar nama bakal calon Caleg pada semua tingkatan (pusat maupun daerah), juga mestinya dikritik keras oleh para politisi termasuk publik, sebab hal tersebut berpeluang besar untuk disalahgunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Regulasi menjadi panglima atau hukum yang harus didesain dan dijunjung tinggi untuk menjaga asas keadilan sosial dan keadilan dalam politik. Politisi oportunis, politisasi Caleg “joki” atau istilah lainnya; harus ditiadakan dalam kamus perpolitikan di Indonesia.  KPU/D, Bawaslu RI, dan Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota menjadi regulator yang memiliki ketugasan berat dalam mengawal agar Pemilu 2024 yang tinggal 8 bulan lagi, dapat berjalan dengan jujur, adil, dan bermartabat. (*)

 

*) Muhammad Amien Sandilana, Pemimpin Redaksi/Pemimpin Umum Harian Online Kabar Indonesia Timur (HOKI Timur)