Rakyat adalah kata yang paling banyak disebut dan dikutip oleh para politisi, juru kampanye, Calon Legislatif (Caleg), dan Calon Presiden-Wakil Presiden (Capres-Cawapres)—sepanjang sejarah perpolitikan. Kata rakyat menjadi sangat populer di musim kampanye ini. Semua pihak seolah mengklaim diri menjadi wakil rakyat, siap menyuarakan aspirasi rakyat, siap menjadi dutanya rakyat, bersedia memperjuangkan kepentingan rakyat, berkomitmen untuk menyejahterakan rakyat, dan menomorsatukan rakyat. Posisi rakyat kini tengah memiliki posisi tawar yang sangat tinggi. Rakyat tengah disanjung-sanjung dalam berbagai forum ilmiah bahkan sampai di warung-warung kopi, angkringan, warung Tegal sekalipun. Sampai-sampai banyak politisi yang menjadikan rumahnya dengan nama: Rumah Aspirasi Rakyat. Walaupun dalam faktanya, rakyat yang manakah yang dimaksud?
Apakah rakyat yang juga sekaligus berposisi sebagai kader atau anggota partai politik tertentu? Ataukah rakyat yang dimaksud adalah mereka yang aktif di berbagai organisasi sosial kemasyarakatan? Ataukah rakyat itu kaum gelandangan dan miskin proletar? Ataukah rakyat yang terikat oleh batas ruang (geografis) dan waktu (zaman) yang sama dan tinggal menetap di berbagai pulau di Indonesia?
Berdasarkan definisi yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Kashiko yang disusun oleh Umi Chulsum dan Windy Novia (Surabaya, 2006), rakyat adalah warga masyarakat, segenap penduduk yang menempati wilayah tertentu dalam suatu negara, khalayak, orang biasa, jelata, atau orang kebanyakan. Dengan demikian, rakyat adalah warga masyarakat biasa yang hidup secara normal (wajar, umum). Ternyata banyak politisi yang gandrung memakai idiom rakyat, dalam rangka untuk menarik simpati dari rakyat sendiri. Sebab siapaun saja bisa dengan mudah mengklaim diri sebagai wakil atau penyambung aspirasi rakyat.
Mengingat syarat mutlak untuk memenangkan kontestasi bernama Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Legislatif 2024 pada 14 Februari 2023 adalah mendapatkan dukungan mayoritas atau terbesar dari para pemilih. Untuk bisa menarik para pemilih agar memilih para kandidat (politisi) entah kapasitasnya sebagai Calon Legislatif (Caleg) DPR/D, DPD RI, maupun pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres); maka dibutuhkan “alat pemikat”. Dalam kamus politik, “alat pemikat” itu bisa bernama program kerja (calon), capaian kerja (petahana), kekayaan, figur, kecerdasan, jaringan, status sosial, kekerabatan, organisasi, mesin politik, kesamaan agama dan seterusnya. Dengan bermodalkan berbagai alat pemikat tersebut, para Caleg dan Capres-Cawapres berlomba-lomba untuk menarik simpati, empati, dan keberpihakan dari para pemilih. Semua pihak memiliki kepentingan politik dan motivasinya masing-masing.
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasil rekapitulasi dari 34 provinsi di Indonesia, bahwa jumlah Daftar Pemilih Sementara (DPS) nasional pada Pemilu 2024 tercatat sebanyak 205.853.518 pemilih. Jumlah pemilih yang sangat besar tersebut, adalah kumpulan dari rakyat dan bukan rakyat. Rakyat adalah penduduk biasa. Sedangkan yang bukan rakyat adalah mereka para pemimpin atau penguasa yang menduduki jabatan strategis pada kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam tradisi negara demokrasi, yang ditandai dengan Pemilu 5 tahunan, posisi rakyat menjadi sangat dominan untuk menentukan apakah para calon pemimpin nasional dan daerah itu akan diganti oleh kandidat lain yang lebih baru ataukah melanjutkan kembali kekuasaannya untuk kedua kalinya dan atau kesekian kalinya. Semuanya bergantung pada pilihan rakyat secara langsung yang dilakukan serentak pada 14 Februari 2024 mendatang. Takdir zaman dan panggilan alam yang paling menentukan.
Maka untuk mendulang suara rakyat atau para pemilih sebanyak-banyaknya, para kandidat melakukan berbagai strategi kampanye Pemilu baik secara langsung maupun tidak langsung. Baik melalui gerakan individual maupun gerakan massal, baik melalui media massa maupun melalui kontak langsung dengan masyarakat. Entah melalui dukungan teknologi maupun secara konvensional. Semua energi bangsa akan diarahkan untuk memenangkan kontestasi politik tersebut. Artinya, sejatinya saat ini, para petahana yang duduk di pusat-pusat kekuasaan sudah tidak bisa fokus lagi untuk menjalankan berbagai program pembangunan nasional, sebab terbayang-bayangi oleh gerakan kampanye Pemilu 2024 yang memaksa mereka untuk masuk dalam pusaran kampanye tersebut.
Risikonya, nasib rakyat justru sangat dirugikan. Di tengah berbagai bencana alam yang silih berganti, ditangani tidak secara maksimal. Atau malahan para politisi justru menjadikan bencana alam tersebut sebagai komoditas dan bahan kampanye Pemilu. Komodifikasi kata rakyat dalam gelanggang politik memang sudah terjadi sejak dulu, manakala teori politik berawal mula.
Komodifikasi idiom rakyat, bisa saja diterjemahkan dalam dua bentuk sekaligus. Pertama, pemaknaan secara fisik atau material. Maksudnya bahwa banyak pemimpin atau calon pemimpin, calon anggota legislatif, dan calon presiden dan wakil presiden yang mengklaim diri didukung penuh oleh rakyat. Artinya, fisik dari rakyat yang bentuknya jamak, diklaim merepresentasi (manjing) dalam diri para calon anggota legislatif dan calon presiden dan wakil presiden tersebut.
Kedua, makna secara fungsional. Bahwa rakyat “dibarter” dengan uang atau kedudukan yang lebih tinggi derajatnya sehingga membuat rakyat naik kelas menjadi orang kaya raya atau pejabat yang dikendalikan oleh para atasan politik mereka. Segala bentuk komodifikasi atas idiom rakyat, sejatinya tidak pernah menguntungkan secara substansial dari rakyat sendiri. Pada era apapun, rakyat tetaplah seperti sekarang ini. Meskipun jumlahnya mayoritas, namun mereka tetap tidak bisa mengakses sumber-sumber kekuasaan, sumber informasi, dan sumber kesejahteraan secara optimal. Posisi rakyat selalu berada dalam posisi marginal (terpinggirkan). Berbeda dengan posisi para pemimpin, meskipun mereka minoritas jumlahnya, namun mereka memegang kunci kekuasaan, mengendalikan sumber perekonomian, bahkan sekarang mengendalikan berbagai korporasi.
Menjadi rakyat memang tidak mudah. Menaikkan status rakyat ke jenjang yang lebih tinggi juga tidak gampang. Rakyat harus siap menanggung beban paling berat ketika kondisi perekonomian nasional terpuruk. Mereka menjadi benteng pertahanan ekonomi yang paling fundamental dan mendasar. Karena mereka langsung berbasis pada keluarga. Untuk menguatkan perekonomian nasional atau mensejahterakan rakyat, langkahnya ya harus menyejahterakan keluarga.
Saat ini bahkan banyak orang yang tidak betah tinggal berlama-lama dalam rumah, atau bercengkrama dengan keluarganya sendiri. Sebab rumah mereka dianggap sebagai “neraka”. Karena banyak keluarga yang tidak harmonis (bercerai), konflik, dan terjerat berbagai problematika kehidupan yang kompleks. Mereka membutuhkan solusi dari para calon pemimpin di Indonesia, yang kini sudah ditetapkan sebagai calon anggota legislatif dan calon presiden dan wakil presiden. Jangan jadikan rakyat sebagai komoditas politik semata untuk menarik simpati mereka pada Pemilu 2024. Yang harus dilakukan bukanlah hanya mendewa-dewakan “nama rakyat” saat musim kampanye Pemilu saja.
Setelah musim kampanye Pemilu, atau setelah para calon anggota legislatif dan calon presiden dan wakil presiden itu terpilih menjadi anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden, mereka harus selalu memperjuangkan nasib rakyat. Nasib lebih dari 270 juta rakyat yang tinggal dan menetap di negeri ini. Kalau kondisi perekonomian nasional saat ini tengah terpuruk, mereka harus memberikan berbagai program pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan ekonomi keluarga. Bukan malah memanfaatkan peluang untuk mengakses uang negara, kemudian dijadikan bahan korupsi massal oleh para penguasa. Sebagaimana banyak terjadi kasus korupsi yang menjerat para pejabat negara dalam 10 tahun terakhir ini.
Semoga momentum Pemilu 2024 mendatang, rakyat benar-benar kuasa memilih para calon anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden yang benar-benar memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat. Bukan para kandidat yang suka mengkomodifikasikan idiom rakyat di atas panggung politik. Mari berpolitik dengan cerdas! Mari menjadi rakyat yang cerdas! Mau pilih Calon Presiden: Ganjar Pranowo, atau Prabowo Subianto, atau Anis Baswedan; atau bahkan akan muncul poros keempat, pada Oktober-November 2023 mendatang. Semuanya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca masing-masing! (*)
Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom. Pembantu Ketua I Bidang Akademik STIKOM Yogyakarta, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik di Yogyakarta email: [email protected]