banner hokitimur

Kasus Suap Rp 60 Miliar, Hakim Djuyamto Spesialis Kasus Besar: Sidang Ferdy Sambo dan Hasto Kristianto

banner 120x600

Jakarta – Nama Djuyamto sedang naik daun, setelah Kejaksaan Agung pada 13 April 2025 menetapkan namanya termasuk dalam penerima suap Rp 60 miliar. Uang itu untuk mengatur putusan ontslag atau lepas dalam perkara korupsi fasilitas ekspor CPO di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat.  Dalam kasus tersebut Kejaksaan Agung sepanjang akhir pekan ini menetapkan 7 tersangka dugaan suap sebanyak Rp 60 miliar

 

Tujuh tersangka tersebut adalah bekas Wakil Ketua Pengadilan Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat Ketua PN Jakarta Selatan, advokat Marcella Santoso dan Ariyanto, panitera Wahyu Gunawan, serta 3 hakim perkara Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.

Penetapan tersangka Arif Nuryanta, Marcella Santoso, Ariyanto, dan Wahyu Gunawan dilakukan pada Sabtu malam, 12 April 2025, sedangkan Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom menjadi tersangka pada Minggu malam, 13 April 2025.

Menyusun Disertasi Memberantas Korupsi

Terlahir 18 Desember 1967, Djuyamto memiliki jabatan struktural sebagai Pembina Utama Muda (IV/c) dan berpendidikan hingga S2. Ia tengah menempuh pendidikan S3 di Universitas Sebelas Maret (UNS), dengan disertasi berjudul Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim Pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif.

Ironisnya, di tengah upayanya menggagas peran hakim dalam memberantas korupsi, justru Djuyamto terjerat praktik suap dalam perkara korupsi bernilai besar.

Nama Djuyamto sebelumnya dikenal luas di dunia peradilan. Sebagai hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia kerap menangani perkara besar yang menyita perhatian publik.

Namun kini, citranya tercoreng setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap vonis lepas (onslag) terkait perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Djuyamto tak sendirian. Ia diduga menerima suap bersama dua hakim lainnya, Ali Muhtarom (hakim ad hoc) dan Agam Syarif Baharudin (hakim anggota), saat menangani perkara tersebut. Djuyamto saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Hakim dan disebut menerima jumlah suap terbesar—sekitar Rp 7,5 miliar. Ali Muhtarom menerima Rp 6,5 miliar dan Agam Syarif Baharudin Rp 6 miliar.Penunjukan Djuyamto sebagai ketua majelis bukan kebetulan. Ia ditunjuk langsung oleh Muhammad Arif Nuryanta, saat itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Arif kini menjadi Ketua PN Jakarta Selatan dan turut terseret dalam kasus ini.

Ia diduga menerima total Rp 60 miliar dari pengacara salah satu pihak terkait perkara korupsi CPO, Ariyanto Bakri, untuk mengatur putusan onslag.

Setelah menerima uang, Arif menunjuk tiga hakim tersebut dan menyerahkan dana awal senilai Rp 4,5 miliar, yang disebut sebagai “uang baca berkas”.

Dalam perkembangan berikutnya, sekitar September atau Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan Rp 18 miliar dalam bentuk dolar untuk dibagi rata ke majelis hakim, dengan pembagian nominal berbeda sesuai peran masing-masing.

Tanggal 19 Maret 2025 menjadi momen penting: perkara korporasi minyak goreng itu akhirnya benar-benar diputus onslag oleh majelis hakim yang telah menerima suap.

Spesialis Kasus besar

Rekam Jejak dan Kasus-Kasus Penting yang Pernah Ditangani

Sebelum tersandung kasus ini, Djuyamto dikenal sebagai sosok hakim yang aktif dan sering tampil di publik. Ia pernah menjadi Humas PN Jakarta Selatan, anggota Komisi IV di Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), serta menjabat di berbagai pengadilan seperti PN Jakarta Utara, Dompu, dan Bekasi.

Kasus pembunuhan satu keluarga di Bekasi, dengan terdakwa Harris Simamora.

Kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, di mana ia menjadi ketua majelis hakim saat menjatuhkan vonis.

Kasus obstruction of justice oleh Ferdy Sambo dan anak buahnya, di mana ia duduk sebagai anggota majelis hakim.

Terakhir, Djuyamto juga menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh Hasto Kristiyanto terhadap KPK. Dalam sidang tersebut, Djuyamto menolak permohonan praperadilan Hasto, menyatakan permohonannya tidak memenuhi syarat formil karena menggabungkan dua isu hukum dalam satu permohonan. (*)

 

Sumber: https://kaltimpost.jawapos.com/utama/2385878111/pembagian-suap-rp-60-miliar-hakim-djuyamto-spesialis-kasus-besar-sidang-ferdy-sambo-hingga-hasto-kristianto?page=3