TULISAN background hitam dengan narasi “Atas permintaan pembaca, Tempo untuk kesekian kalinya mencetak ulang majalah Tempo edisi Nawadosa” berseliweran di media sosial. Lepas zuhur, Selasa, 13 Agustus 2024, Arif Zulkifli, Direktur Utama Tempo Media Group sekaligus Anggota Dewan Pers memposting tulisan itu di Facebook dan Instagram pribadinya. Demikian pula Wahyu Dhyatmika, CEO Tempo Digital yang kini menjabat Ketua Umum AMSI, membagikan postingan tersebut di grup-grup Whatsapp jurnalis.
Munculnya tulisan itu berkaitan dengan peristiwa menghilangnya Majalah Tempo Edisi Khusus 10 Tahun Jokowi di pasaran. Majalah yang dirilis pada 29 Juli hingga 4 Agustus 2024 ini sempat lenyap dari etalase agen-agen koran dan toko buku. Kini, edisi yang mengurai 10 tahun pemerintahan Jokowi itu dicetak ulang.
“Ini sudah masuk cetakan ketiga. Jumlah total oplahnya sekitar 100 ribu,” kata Bagja Hidayat, Pemimpin Eksekutif Majalah Tempo.
Bagja tidak mengetahui secara pasti penyebab menghilangnya majalah di pasaran. Bisa saja memang diborong pihak tertentu. Namun, sejak majalah dirilis permintaan langsung tinggi, baik itu di agen maupun di layanan marketplace. Menurutnya, hal tersebut menandakan bahwa masyarakat mengapresiasi kerja jurnalisme dengan baik.
Saat majalah itu hilang dari peredaran, Tempo membuka akses secara online beberapa tulisan yang dimuat di majalah. Di antaranya, editorial, cerita sampul, serta opini, bisa dibaca di website Tempo.
“Ada laporan jika majalah itu dibagikan secara gratis di salah satu kampus di Sumatera,” kata lulusan Institut Pertanian Bogor atau IPB itu.
Bukan sekali ini Majalah Tempo hilang dari peredaran. Pada 2010, majalah berjudul Rekening Gendut Perwira Polisi ramai-ramai dibeli oleh orang berpenampilan mirip polisi. Kejadian serupa terjadi pada 2013 ketika Tempo menulis dugaan keterlibatan Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto dalam kasus korupsi PON Riau.
Majalah Tempo pertama kali terbit pada Februari 1971 dengan edisi perkenalan “Tragedi Minarni dan Kongres PBSI”. Disusul dengan perilisan edisi pertama “Film Indonesia: Selamat Datang, Sex.” Edisi-edisi awal majalah Tempo mengetengahkan artikel seni, gaya hidup, dan perilaku yang sampai pada taraf tertentu terasa segar dan baru. Meski mulai memiliki pasar, dalam perjalanannya, majalah ini menemui sejumlah tantangan.
Pada 1982, majalah Tempo dibredel karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru. Pembredelan kedua terjadi pada 21 Juni 1994. Tempo dibredel karena dinilai terlalu keras mengkritik Habibie serta Soeharto ihwal pembelian kapal bekas dari Jerman Timur.
Pembredelan itu sempat membuat para awak Tempo tercerai-berai. Kemudian mereka melakukan rembuk ulang untuk memutuskan perlu atau tidak majalah ini terbit kembali. Hasilnya, disepakati Tempo harus terbit kembali. Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia media, pada 2001, PT Arsa Raya Perdana, melakukan go public dan mengubah namanya menjadi PT Tempo Inti Media, Tbk. (Perseroan) sebagai penerbit Majalah Tempo yang baru.
Pada peringatan ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke-30, podcast Bocor Alus Tempo meraih penghargaan Udin Award. Bocor Alus digawangi oleh Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Donggoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono. Podcast ini mendapat anugerah tersebut karena berani memberitakan isu sensitif, menginspirasi masyarakat, dan menjamin kebebasan berekspresi. (*)
Sumber: https://kediripedia.com/hilang-dari-pasaran-majalah-tempo-edisi-khusus-jokowi-dicetak-ulang/