banner hokitimur

Efek “Dinamit” Pasca Putusan MK dalam Pilkada Sulteng 2024, Cudy-Agusto Bermanuver Cerdik

Oleh: Moh. Amin Sandilana

banner 120x600

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulawesi Tengah yang siap dihelat 27 November 2024 kini menemui babak baru. Setelah sebelumnya disajikan adegan salah satu pasangan bakal calon kepala daerah yang tersandera nyaris saja tidak bisa maju dalam Pilkada karena ketidakcukupan dukungan suara dari gabungan partai politik pengusung. Kini, Rusdy Mastura-Sulaeman Agusto Hambuako, salah satu bakal calon kandidatnya, sudah bisa bernafas lega, sujud syukur. Pasalnya, persis pada tanggal 20 Agustus 2024 kemarin, Mahkamah Konstitusi RI baru saja menerbitkan keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menganulir atau membatalkan Pasal 40 ayat (1) UU tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Putusan tersebut hasil perjuangan dari para petinggi Partai Gelora dan Partai Buruh mengajukan gugatan atas Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintan Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang dinilai melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Melalui putusan MK tersebut, partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki anggota DPRD dapat mengajukan calon kepala daerah sebagaimana syarat yang diajukan oleh calon kepala daerah dari jalur perseorangan.

Berkat putusan MK tersebut, dapat dipastikan pasangan Rusdy Mastura-Sulaeman Agusto Hambuako yang didukung oleh PDI Perjuangan dan Partai Hanura bisa langsung melenggang “berlari kencang” ke KPUD Sulawesi Tengah pada 27-29 Agustus 2024. Kalkulasinya, dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap di Sulawesi Tengah sebanyak 2.236.703 pemilih, berarti partai politik atau gabungan partai politik bisa mengusung kandidatnya minimal memiliki 8,5 persen suara sah dalam Pemilu 2024. Artinya, partai politik maupun gabungan partai politik; baik yang punya kursi di DPRD Sulteng maupun yang tidak memiliki kursi di DPRD Sulteng–asalkan memiliki suara sah yang memadai dalam Pemilu 2024; dapat mengajukan pasangan kandidat kepala daerahnya sendiri. Jika dihitung maka 8,5 persen dari DPT Sulteng (2.236.703 pemilih) sebanyak 190.119,755 suara. Kalau dibulatkan ke atas menjadi 190.120 suara.

Sementara itu jumlah suara yang berhasil dikantongi oleh PDI Perjuangan di Sulawesi Tengah dalam Pemilu 2024 adalah 176.954 suara (7,9 persen). Sedangkan jumlah perolehan suara Partai Hanura di Sulawesi Tengah sebanyak 80.956 suara (3,62 persen). Jika digabungkan jumlah suara dua partai politik tersebut yakni 257.910 suara (setara 11,52 persen). Dengan demikian, jika mematuhi putusan MKRI tersebut, pasangan Rusdy Mastura-Sulaeman Agusto Hambuako yang diusung koalisi PDI Perjuangan dan Partai Hanura sudah melampaui batas ambang batas; dan sangat memungkinkan juga masih bertambah dengan dukungan dari partai non perlementer lainnya.
Namun demikian, tindak lanjut dari putusan MKRI yang menggemparkan jagat politik tersebut, belum bisa dieksekusi sebelum KPU RI merevisi dan atau menerbitkan regulasi baru yang mengakomodir adanya perubahan ketentuan Pilkada tersebut. Kita tunggu saja dalam 5 hari ke depan ini.

Dalam konstelasi Pilkada Sulteng 2024, sudah terdapat 2 pasang kandidat lainnya yang sebelumnya sudah beredar sebelumnya yakni pasangan Anwar Hafid-Reny Lamadjido (koalisi Partai Demokrat, PKS, dan Partai Bulan Bintang). Kandidat lainnya yakni Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri (kongsi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PAN, PKB, PPP, dan PSI). Merujuk Keputusan KPU Provinsi Sulawesi Tengah Nomor: 66 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPRD Provinsi Sulteng Tahun 2024, perolehan suara partai politik di Sulawesi Tengah pada Pemilu 2024 sebagai berikut: PKB: 122.053 (5,46 persen); Gerindra: 201.424 (9 persen); PDI Perjuangan: 176.954 (7,9 persen); Partai Golkar: 263.023 (11,76 persen).

 

Perolehan lainnya, Partai Nasdem: 227.438 (10,2 persen); Partai Buruh: 9.142 (0,41 persen); Partai Gelora: 31.358 (1,4 persen); PKS: 120.494 (5,4 persen); PKN: 15.312 (0,7 persen); Hanura: 80.956 (3,62 persen); Partai Garda: 2.014 (0,09 persen); PAN: 91.356 (4,1 persen); PBB: 40.044 (1,8 persen); Partai Demokrat: 179.761 (8,04 persen); PSI: 16.930 (0,76 persen); Perindo: 70.558 (3,15 persen); PPP: 69.232 (3,1 persen); dan Partai Ummat: 5.037 (0,225 persen).

Dengan merujuk pada putusan MKRI dan realitas politik di Sulawesi Tengah saat ini; maka jika 6 partai politik non parlementer yang terdiri dari Partai Buruh, Partai Gelora, PKN, Partai Garda, PSI, dan Partai Ummat disatukan maka suara pemilihnya mencapai 79.793 suara (3,6 persen). Jumlah suara yang cukup relevan untuk diperhatikan dalam konstelasi Pilkada Sulteng pasca putusan MK tersebut.

 

Sebab jika mereka berhasil melakukan manuver; misalnya koalisi partai non parlementer di Sulteng tersebut berhasil membangun poros koalisi dengan Partai Demokrat yang sebelumnya sudah mendukung pasangan Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri; lantas Partai Demokrat menarik dukungan politik pada pasangan tersebut; tentu membuat suasana politik di Sulteng menjadi semakin “mendidih”. Jika Partai Demokrat dan gabungan partai politik non parlementer itu bersatu dan mengajukan kandidatnya sendiri; secara politis; sangat memungkinkan jika kemudian jumlah kandidat yang bertarung dalam Pilkada Sulteng 2024 menjadi 4 pasang; bukan lagi 3 pasang.

Namun semuanya masih menunggu Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum RI yang sudah akan menerbitkan regulasi baru untuk merespons dan menindaklanjuti putusan MKRI tersebut sebelum tanggal 27 Agustus 2024. Saat ini tanggal 21 Agustus 2024. Masih ada waktu selama 5 hari ke depan sebelum masa pendaftaran kandidat dibuka oleh KPUD Sulawesi Tengah. Yang pasti Rusdy Mastura-Sulaeman Agusto Hambuako sudah bisa bernafas lega karena sudah mendapatkan kendaraan politik yang memadai dan memungkinkan untuk bertanding dengan para kandidat non petahana. Kita lihat saja, bagaimana pertarungan politik antar elit politik lokal di Sulawesi Tengah tersebut.

 

Terbitnya putusan MKRI yang mendadak tersebut ibarat gempa tektonik yang menggemparkan dunia politik; dan menjadi serangan balik bagi para kandidat yang selama ini sudah ayem karena didukung koalisi partai politik besar. Efek dinamit dari putusan MKRI tersebut terhadap perpolitikan nasional dan daerah jelas menggemparkan. Bisa jadi banyak parpol yang selama ini sudah membangun koalisi akan “ambrol” karena mereka berfikir untuk mengajukan kandidat dari kader partai politiknya sendiri; misalnya dengan tidak perlu melakukan koalisi dengan partai politik lainnya.

 

Akibatnya, jika ini dilakukan; jumlah kandidat yang bertanding dalam Pilkada akan membengkak. Sebab setiap partai politik atau gabungaan partai politik baik parlementer maupun non parlementer asalkan memiliki jumlah suara minimal yang memadai yakni 6,5 persen s/d 10 persen jumlah suara sah dari jumlah DPT-nya dapat mengajukan kandidatnya dengan legal.

 

*) Moh. Amin Sandilana, Pemimpin Redaksi Harian Online Kabar Indonesia Timur