Aktivitas tambang bebatuan atau galian C – yang merupakan usaha penambangan berupa tambang tanah, pasir, kerikil, marmer, kaolin, dan granit – semakin menjamur di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah menyusul ditetapkannya Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sebagai lokasi ibu kota Nusantara.
Lokasi geografis Kalimantan Timur yang berdekatan dengan Palu dan Donggala memungkinkan suplai bahan bangunan seperti pasir, batu, dan kerikil (sirtukil) terbaik dari dua wilayah ini. Tetapi industri pertambangan di Palu dan Donggala tidak disertai dengan tata laksana lingkungan yang baik. Perusahaan tambang bebatuan terkesan mengabaikan dampak berbahaya dari kegiatan mereka. Sepanjang garis pantai Teluk Palu dapat ditemui bukit-bukit yang terpangkas sebagian.
Sementara, di tepian Teluk Palu dermaga-dermaga berdiri kokoh, menjadi sandaran kapal-kapal tongkang pengangkut hasil tambang.
Keberadaan dermaga pribadi milik perusahaan pengelola tambang itu menggusur keberadaan lokasi penangkapan ikan hingga budidaya rumput laut, salah satu potensi sumber daya alam (SDA) kelautan di Palu dan Donggala. Kerusakan lingkungan di sekitar tambang galian C di Palu dan Donggala menuai kasus penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Paling tinggi penderitanya yang tinggal di daerah sekitar tambang. ISPA merupakan buah dari polusi udara akibat kegiatan pertambangan.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah, mencatat sepanjang pesisir Teluk Palu mulai dari Palu hingga Donggala, tidak kurang 27 perusahaan tambang galian C yang beroperasi, 10 di antaranya berada dalam kawasan administratif Palu, sedangkan 17 lainnya masuk kawasan administratif Donggala.
Di sudut lainnya yakni di Kecamatan Labuan, Donggala terdapat juga kurang lebih 17 perusahaan tambang sirtukil yang terus mengeruk sepanjang sungai Labuan. (*)
Sumber: https://www.benarnews.org/indonesian/slide-show/dampak-tambang-batu-sulawesi-utara-06302023093053.html