Lima Tahun pasca bencana yang melanda wilayah Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, sejumlah megaproyek dilaksanakan dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah terdampak. Pemerintah melalui beberapa kementrian mengucurkan triliunan anggaran yang diperuntukkan bagi pemulihan beberapa infrastruktur baik Inftrastruktur pendidikan, perkantoran, sarana perhubungan baik berupa jalan dan dermaga, fasilitas kesehatan hingga perbaikan jaringan irigasi dan air bersih.
Inftrastruktur paling banyak terdampak adalah akses jalan dan fasilitas umum, sektor sektor inilah yang sejak pasca bencana hingga sekarang terus dikucurkan dana untuk perbaikan dan penggantian sarana dan prasarana yang rusak. Pemenang lelang dimega proyek ini mayoritas dikuasai oleh perusahaan raksasa berlabel Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan berbagai bendera , perusahaan plat merah tersebut memenangkan proyek ratusan milyar dengan mudah diduga karena mendapat dukungan pemerintah baik secara langsung atau tidak langsung.
Akal-akalan tender dan kongkalikong pemenang lelang merupakan hal lumrah yang sering beredar saat paket megaproyek di lelang, para makelar proyek tersebut diduga ada yang mempergunakan jasa Aparat Penegak Hukum untuk memuluskan karpet merah pemenangan.
Isu beking-membeking proyek ini santer terdengar dikalangan pengusaha lokal, bahkan masalah ini menjadi lumrah dikarenakan tidak satupun pihak berani buka mulut atas praktek culas ini. Bukan tanpa sebab, karena saat pekerjaan proyek dimulai maka oknum Aparat Penegak Hukum (APH) akan turut kecipratan rejeki dari pemenang tender.
Dalam pekerjaan megaproyek tersebut, para oknum APH mengambil bagian sebagai subkontraktor dalam banyak hal. Mulai dari pekerjaan fisik, penyediaan bahan material hingga kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) ke perusahaan.
Parahnya, pemenuhan material dari para Subkon ini terkesan serampangan dan diduga melanggar standararisasi yang diatur dalam kontrak. Misalnya, para kontraktor lokal yang bekerja sebagai mitra pemenang tender itu cenderung mempergunakan material yang diduga illegal.
Dikatakan illegal Material dan bahan tersebut disebabkan diambil dari lokasi tak berijin dan tidak memiliki dokumen resmi, sebagai contoh pemenuhan timbunan untuk jalan, batu kali untuk pemasangan mortar dan pekerjaan drainase, pasir sungai hingga bahan bakar minyak .
Anehnya, aktivitas illegal ini berlangsung tahunan seiring dengan waktu kontrak yang diteken perusahaan pemenang. Aparat Penegak Hukum seakan akan terhipnotis sehingga tidak berbuat apapun, padahal tindakan tersebut merugikan negara.
“Ada beberapa anggota (aparat, red) yang menjadi penyedia sarana angkut, ada yang suplai batu dan pasir, juga ada yang punya orang untuk Subkon kerja diproyek-proyek itu,“ jelas sumber yang meminta namanya jangan dimediakan.
Untuk dapat bekerja di proyek tersebut kata sumber, pihak rekanan wajib berbagi keuntungan dengan orang dalam perusahaan dalam negosiasi harga. “Kalau kita mau ba subkon,kita harus ikut aturan main yang disampaikan orang perusahaan,kita harus tau terimakasih, ya biasanya kita ada siapkan selisih harga yang menjadi haknya penghubung ke bos,“ ungkapnya.
Sumber memberi contoh, pekerjaan pemasangan batu mortar untuk pekerjaan saluran drainase dihargai Rp 450.000-500.000/kubik. Untuk bisa bekerja, Subkon harus rela menyisihkan Rp 15.000-20.000/kubik untuk penghubung atau orang dalam perusahaan. “Jika tidak kita akomodir,kita punya pekerjaan akan banyak dievaluasi bahkan tidak dibayar,intinya dibikin sulit saat mau diopname,“ keluh sumber.
Terkait pemakaian material yang diduga Ilegal, sumber mengakui jika banyak rekanan yang mengambil material dari lokasi setempat dengan asumsi menekan ongkos kerja . Hal tersebut tidak pernah dipermasalahkan pihak perusahaan pemenang selaku pemenang kontrak, bahkan terkadang pihak perusahaan yang menyuplai material tersebut selanjutnya dijual kepada para kontraktor lokal yang bekerja di paketnya.
“Ibarat jeruk makan jeruk, makanya jangan heran kalau kualitas pekerjaan banyak yang dibahah standar,“ pungkas sumber.
Sementara itu, penggiat anti korupsi di Sulteng, Abdul salam kepada media ini mengatakan bahwa praktek penggunaan material illegal dalam sebuah proyek resmi pemerintah itu sangatlah melanggar. Mengingat uang yang dipakai membayar adalah uang negara , penggunaan uang negara secara illegal sangatlah merugikan negara dan berpotensi masuk dalam tindak pidana korupsi.
“Penggunaan material illegal dalam proyek resmi pemerintah adalah bentuk korupsi sumber daya alam, karena diambil secara illegal sehingga Negara tidak mendapatkan pajak dari praktek tersebut,itu korupsi,“ jelas Abdul Salam, salah satu pendiri Koalisi Rakyat Anti Korupsi (KRAK), Jumat (23/06/2023).
Hal yang sama diutarakan Raslin, seorang aktivis Relawan Pasigala, kepada media ini dirinya menyampaikan kekecewaannya atas kinerja aparat penegak hukum yang tidak mampu bersikap atas praktek praktek ilegal yang dilakukan oknum aparat serta perusahaan sekelas BUMN yang berpotensi merugikan negara.
“Aparat penegak hukum diam melihat semua pelanggaran tersebut, mereka bungkam diduga karena ikut bermain dan sudah saling baku tau mainan, kolaborasi yang cantik untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya,“ kata Raslin.
Raslin memberi contoh dimana perusahaan BUMN yang mengerjakan proyek pemerintah diduga mempergunakan material yang tidak sesuai spek dan diambil dari lokasi tak berizin.
“Rekonstruksi Pelabuhan laut Wani di duga menggunakan material timbunan dari pasir sungai palu, diketahui bahwa material pasir sungai Palu belum memiliki izin resmi dari pemerintah. Padahal disekeliling kegiatan proyek tersebut sangat dekat dengan lokasi galian C yang nota bene memiki izin resmi dan mempunyai pasokan material pasir namun pihak kontraktor pelaksana BUMN Wika hanya mengambil material murah dan illegal,“ urainya.
Masih menurut Raslin,pekerjaan Proyek Rekonstruksi jembatan IV palu juga ditengarai memasok material timbunan tanah yg diduga dari Wilayah Desa Pombewe dan Desa Bora kabupaten Sigi, diduga timbunan tanah tersebut tidak memiliki izin (ilegal).
“Untuk mengakalinya sebagian material mereka datangkan dari area yang memiliki izin seperti perusahaan galian C di Watusampu dan Buluri,” ungkapnya.
Dari penelusuran media ini, sebagian besar material yang diangkut oleh penyuplai material dari wilayah kelurahan Buluri dan watusampu , ada yang berasal dari lokasi yang IUP-nya mati, diluar IUP Perusahaan bahkan berasal dari hutan lindung.
Salah satu BUMN yakni PT Wijaya Karya (Perseroan ) Tbk yang mengerjakan proyek Rekonstruksi Jalan Kalawara-Kulawi dan Sirenja coba dikonfirmasi terkait hal tersebut masih belum bisa diwawancarai, redaksi hanya bisa berkomunikasi dengan salah satu penanggung jawab di perusahaan tersebut melalui Chating WhastApp.
“Untuk saat ini saya posisi tidak sedang di Palu, nanti saya infokan kalau sudah ada di Palu,” tulis Reza. (*)
Sumber: https://portalsulawesi.id/akal-akalan-proyek-garapan-bumn-di-rehab-rekon-pasigala-aph-tutup-mata/